JAKARTA, HUMAS MKRI – Majelis Hakim Konstitusi memutuskan tidak dapat menerima uji materiil aturan mengenai bunga atas pinjaman uang atau barang sebagaimana tercantum dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, Pasal 1768 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Demikian Putusan Nomor 63/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan yang berlangsung pada Senin (31/7/2023) siang.
“Amar Putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Anwar membacakan Putusan yang diajukan oleh Utari Sulistiowati (Pemohon I) dan Edwin Dwiyana (Pemohon II) tersebut.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Mahkamah berpendapat jika para Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya praktik perbankan konvensional yang sifatnya umum, dengan menerapkan prinsip-prinsip hubungan hukum keperdataan secara murni, maka dengan telah tersedianya praktik perbankan non konvensional, salah satunya perbankan syariah, para Pemohon yang notabene beragama Islam dapat memilih model pinjam-meminjam yang tidak didasarkan pada pengenaan bunga/interest.
Selain itu, lanjut Manahan, para Pemohon tidak akan mengalami kerugian konstitusional jika menggunakan model perbankan syariah sebagai alternatif dari keberatannya dalam penggunaan model perbankan konvensional. Bahwa kerugian konstitusional baru dapat terjadi jika para Pemohon tidak disediakan pilihan hukum lain untuk menampung kepentingan transaksi perbankan lainnya.
“Dengan adanya pilihan hukum lain, anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata adalah tidak beralasan hukum. sehingga Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,” tandas Manahan.
Baca juga:
Pemohon Uji Unsur Riba dalam KUHPerdata Pertegas Kerugian Konstitusional
Menguji Unsur Riba dalam KUHPerdata
Sebelumnya, kedua Pemohon mendalilkan dirugikan oleh aturan mengenai bunga atas pinjaman uang atau barang sebagaimana diatur dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata. Secara konkret, Pemohon I adalah perorangan warga negara Indonesia dan pernah melakukan perikatan Perjanjian Utang Piutang berlandaskan Akta Notaris Nomor 12 Tanggal 19 Februari 2019 di hadapan Notaris Supriyanto, SH, MM, Notaris yang berkedudukan di Depok, Jawa Barat. Pemohon I mengikatkan diri dengan Perjanjian Utang Piutang dengan Haji Hendri Syah Abdi senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan dikenakan bunga atas pinjaman dimaksud. Sedangkan Pemohon II adalah perorangan warga negara Indonesia yang pernah melakukan Perjanjian Fasilitas Pinjaman Tunai melalui aplikasi Shopee pada tanggal 22 November 2022 sebesar Rp 750.000,- (tujuh ratur lima puluh ribu rupiah) dengan PT Lentera Dana Nusantara. Dalam Perjanjian dimaksud, Pemohon II dikenakan bunga sebesar 3,95% atas keseluruhan utang, yang mana hal tersebut sangat merugikan Pemohon II.
Para Pemohon merasa hak konstitusional untuk memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing dirugikan dengan keberlakuan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata karena para Pemohon harus menyepakati adanya perjanjian utang piutang yang dikenakan bunga atas peminjaman tersebut. Padahal, para Pemohon beragama Islam sehingga harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, yang mana ketentuan dalam Islam bahwa mengambil bunga dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba. Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan, “Bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.”
Menurut para Pemohon, KUHPerdata yang berlaku di negara Republik Indonesia adalah murni peninggalan produk hukum Hindia Belanda yang belum pernah sekalipun mengalami amandemen dan merupakan terjemahan asli Burgerlijk Wetboek (BW) yang mana masih banyak unsur-unsur dalam KUHPerdata yang tidak sesuai dengan adat ketimuran maupun kehidupan keagamaan di wilayah Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Dengan demikian, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim MK menyatakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal1 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, frasa “bunga” dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 murni peninggalan Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon sehingga sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia dimana mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Klausul “bunga” dalam pasal yang menjadi objek permohonan ini, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan para Pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, juga sangat tidak berkeadilan karena berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi lemah (imperior) dan debitur dalam posisi superior. Mengingat dosa riba yang mengenai pihak berutang, yang mengutangkan, dan yang mencatatkan akan dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga tidak tergolong dalam kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana