JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengajak para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha Bandung, berdiskusi mengenai Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Berbicara mengenai perppu, kata Daniel, dapat ditelisik pada bunyi Pasal 22 UUD 1945 dan Konsep Hukum Tata Negara Darurat.
Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Perppu merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yang disebutkan pada Pasal 7 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Kendati demikian, kata Daniel, pada penggunaan dan praktiknya, tebitnya sebuah Perppu tidak selalu dalam keadaan darurat.
Sebagaimana diketahui, sambung Daniel, dalam keadaan biasa untuk mengesahkan suatu undang-undang, DPR turut serta sebagai pihak yang menyatakan persetujuan dan tidak atas disahkannya suatu undang-undang. Sementara dalam keadaan darurat, pada Pasal 12 UUD 1945 menyandingkan keadaan “bahaya” dan pada Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan “dalam hal ihwal kegentingan memaksa” sebagai padanan terbitnya Perppu oleh Presiden.
“Jika melihat konsep hukum tata negara darurat, maka Perppu dapat disederhanakan lahir dengan syarat-syarat di antaranya adanya kepentingan tertinggi negara, yakni adanya atau eksistensi negara itu sendiri; peraturan itu harus mutlak atau sangat perlu; bersifat sementara selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu diperlukan aturan biasa yang normal dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku; dan ketika peraturan darurat itu dibuat, DPR tidak dapat mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan sungguh atau sekarang dikenal dengan istilah reses,” jelas Daniel dari Ruang Mahkamah Konstitusi pada Jumat (28/7/2023).
Kemudian untuk memudahkan pemahaman para mahasiswa, Daniel menjelaskan perbandingan peraturan sejenis Perppu dalam konstitusi di Indonesia dan asas-asas dari peraturan perundang-undangan menurut beberapa ahli. Dari pembahasan ini, menurut Daniel, Perppu seharusnya disamakan dengan undang-undang darurat. Sedangkan saat ini, Perppu menjadi bagian dari undang-undang sehingga asas yang harus dilakukan padanya pun sama layaknya undang-undang biasa.
“Jadi ini perlu ada kajian lebih lanjut mengenai asas-asas formal dan materi sebagaimana disebutkan pada Pasal 12 UU P3. Mengutip Hans Kelsen sekali pun yang mengelompokkan norma, termasuk Perppu dan saya dalam disertasi menyatakan ada rumpun peraturan norma dan rumpun peraturan darurat (Perppu termasuk di dalamnya) sebagaimana konsepnya Soepomo karena isinya ada yang bertentangan dengan UUD,” sampai Daniel dalam kegiatan yang turut dihadiri Pdt. Hariman Andrey Pattianakotta (Pendeta di UK Maranatha) dan Pan Lindawaty Suherman Sewu selaku selaku salah satu pengajar di FH UK Maranatha.
Usai memberikan pemahaman dasar terhadap Perppu dan kewenangan MK atas pengujiannya, Daniel pun mengajak para peserta diskusi ilmiah untuk mendiskusikan konsep-konsep hukum terkait Perppu yang dapat saja berkembang dan berdampak pada kehidupan hukum masyarakat. Salah satunya pertanyaan dari Salsabila yang mentakan, “Apabila Perppu tidak dimasukkan pada hierarki peraturan perundang-undangan, maka apakah MK kemudian boleh menguji Perppu terhadap UUD 1945,” tanya Salsabila singkat padat dan jelas.
Atas pertanyaan ini Daniel pun memberikan tanggapan, menurutnya Perppu dikelompokkan pada rumpun hukum darurat. Hal ini, sambung Daniel, karena sifat dari Perppu hanya sementara sehingga tidak perlu diberlakukan dalam masa yang panjang dan tidak perlu pula di-judicial review. Sementara kaitannya dengan kewenangan MK pengujian Perppu, dapat saja dilakukan selama Presiden menyatakan negara dalam keadaan darurat atau bahaya.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.