JAKARTA (Suara Karya): Jumlah partai peserta pemilu yang banyak mencerminkan salah kaprah penerapan sistem politik di Indonesia. Sebab, sistem multipartai lazimnya diterapkan di negara yang mengadopsi sistem parlementer. Negara penganut sistem presidensial lazim memformat jumlah partai terbatas.
Pandangan ini dikemukakan Ketua Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Jeiry Sumampow, pengamat politik dari UI Amir Santoso dan pengamat politik dari LIPI Indria Samego. Mereka dihubungi secara terpisah di Jakarta, Rabu 23/4).
Indria Samego mengatakan, banyaknya partai peserta pemilu merupakan konsekuensi dari implementasi sistem parlementer. Sementara sistem presidensial tidak menghendaki banyak partai, sebagaimana diterapkan pada era Orde Baru.
Hal senada dikatakan Jeiry Sumampow. Menurut dia, sistem politik yang berlaku di Indonesia sekarang ini seperti tidak berjenis kelamin. Parlementer tidak, presidensial juga tidak. Para politisi mengklaim sistem yang mereka gunakan adalah sistem presidensial, tapi pada praktiknya mereka terkadang menggunakan cara-cara yang biasa dipakai dalam sistem parlementer.
"Misalnya, seringnya DPR mengancam akan meng-impeach presiden; itu bukan sistem presidensial, tapi parlementer. Sebab, dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan presiden. Di sisi lain, dalam sistem presidensial seperti sekarang ini, seharusnya hanya ada dua partai. Jumlah partai dibatasi dengan format partai pendukung pemerintah dan partai oposisi," katanya.
Partai pendukung pemerintah sudah pasti mendukung setiap kebijakan pemerintah, meski harusnya kritis juga. Sementara partai oposisi mengontrol setiap kebijakan yang dibuat pemerintah. Tapi, tutur Jeiry, partai oposisi pun tidak sembarang mengkritik.
"Kalau ada kebijakan pemerintah yang baik dan berpihak kepada rakyat, mereka tidak boleh malu mendukung kebijakan itu. Jangan mentang-mentang oposisi, semua kebijakan pemerintah dianggap salah dan dikritisi," katanya.
Sementara itu, Amir Santoso mengatakan, hingga kini undang-undang memang tidak membatasi jumlah partai peserta pemilu. Tapi seleksi alam yang menentukan penyederhanaan partai di parlemen.
"Silakan saja jumlah partai peserta pemilunya 50 atau 60 partai. Tapi mereka tidak bisa lolos semua di parlemen. Idealnya, di parlemen itu hanya ada 5 sampai 10 partai. Tapi seleksi itu biarkan saja berjalan alami, karena ini bagian dari proses demokrasi," katanya.
Jeiry Sumampow menambahkan, banyaknya parpol yang belum siap menjadi peserta pemilu menandakan parpol itu tak layak ikut Pemilu 2009. Dari 69 parpol yang mendaftar di KPU, diprediksi hanya 30 parpol yang bisa melewati verifikasi faktual.
Menurut dia, ketidaksiapan parpol ditandai dengan usulan agar jadwal pendaftaran pemilu diundur dari 12 Mei menjadi 12 Juni 2008. Usul ini tentu menambah berat tugas KPU dalam melaksanakan tahapan persiapan pemilu. "KPU jangan mau disetir oleh parpol yang ingin agar jadwal diundur. KPU harus konsisten menjalankan aturan yang sudah berjalan. Apalagi memberi peluang meloloskan mereka," kata Jeiry.
Mengenai kesiapan sejumlah parpol yang sudah mendaftar di KPU, Jeiry memprediksi hanya 30 parpol yang siap. Sisanya akan gugur secara alamiah. Dari 30 parpol, ada lima parpol baru hasil verifikasi administratif di Depkum dan HAM.
"Saya melihat, dari 24 parpol baru yang lolos di Depkumham hanya akan menyisakan lima parpol yang bisa lolos. Ini berdasarkan penilaian dan pantauan saya melihat keseriusan mereka di daerah, baik sosialisasi maupun konsolidasi," katanya.
Dia menyebutkan, banyaknya parpol yang gugur karena aturan ketat yang diterapkan KPU, seperti mempunyai KTA 1.000 per kabupaten atau 1/1000 dari jumlah penduduk, lalu sekretariat atau kantor dan teknik pengambilan sampling 10 persen.
"Jumlah 30 parpol yang akan ikut Pemilu 2009 itu dinilai sudah tidak ideal karena wacana penyederhanaan parpol bisa gagal lantaran dihambat dengan keluarnya UU No 1 Tahun 2008 tentang Parpol," katanya.
Untuk itu, menurut dia, KPU harus cermat dalam mengatur tahapan pemilu. Sejauh tidak mengganggu pemungutan suara, pengunduran jadwal tidak masalah. "Sejauh tidak mengganggu tahapan yang lain, seperti pemungutan suara, tidak masalah," katanya.
Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary secara tegas belum memikirkan untuk memperpanjang waktu pendaftaran karena waktu verifikasi 69 parpol bisa terhambat. "Itu harus dipertimbangkan waktu yang tersedia untuk KPU melakukan verifikasi. Soalnya, kalau tidak cukup waktu verifikasinya, risikonya tinggi sekali," kata Hafiz.
Untuk verifikasi faktual parpol, tutur dia, KPU belum memikirkan akan menggandeng pihak ketiga. KPU masih akan mengumpulkan KPU Provinsi untuk menyamakan persepsi verifikasi. (Kartoyo DS/Rully)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id