JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pada Selasa (25/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta.
Leonardo menguji Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP yang menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh tersebut, Leo yang hadir langsung dalam persidangan mengatakan telah mempertegas kedudukan hukum (legal standing) dengan memberikan bukti paklaring dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). “Kenapa saya memberikan bukti NPWP paklaring karena NPWP menandakan saya sebagai subyek pajak, kemudian paklaring menandakan saya ada potensial apabila saya bekerja mengalami kerugian dengan pasal yang diajukan,” jelas Leo.
Leo juga memperbaiki dalam penjelasan frasa imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan fasilitas dan/atau pelayanan. “Kita bisa lihat bahwa dalam konteks penjelasan tersebut diperkuat juga di dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 yang ketiga di mana di situ sudah menjelaskan ada bentuk pengecualian yang tidak dikategorikan sebagai obyek pajak natura. Dan salah satunya yang tidak dikecualikan adalah pelayanan fasilitas kesehatan dan biaya perobatan. Ini sangat miris fasilitas kesehatan dan perobatan dikategorikan sebagai obyek pajak penghasilan,” ujarnya.
Baca juga:
Karyawan Swasta Pertanyakan Fasilitas Kesehatan Terkena Pajak
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta. Leo mengujikan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (10/7/2023), Leo mengatakan fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan telah diasuransikan oleh perusahaan. Dulunya, fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan menjadi tanggungan perusahaan dan karyawan tidak bisa untuk membayar hal ini sebagai objek pajak dan bukan dikategorikan objek pajak.
Leo mendalilkan gaji yang diterimanya akan terkuras karena membayar pajak seperti itu. Menurutnya, fasilitas kesehatan dan biaya pengobatan itu merupakan hak dari pekerja. Namun sekarang dijadikan sebagai objek pajak.
“Bahayanya di situ, yang dulu sebetulnya bukan sebagai objek pajak sekarang dikenakan sebagai objek pajak. Bayangkan saja, Yang Mulia, misal saya mempunyai gaji 2 juta kemudian itu pun belum dipotong lagi oleh objek karena ada masalah fasilitas kesehatan atau biaya perobatan. Tentu potongan itu akan merugikan pemohon sendiri, yang mana sebelumnya 2 juta menjadi mungkin 1 juta,” terangnya.
Leonardo mempertanyakan mengapa fasilitas kesehatan dimasukkan ke dalam objek pajak penghasilan. “Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah memasukkan fasilitas kesehatan ke dalam kategori objek pajak,” tegas Leo.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.