JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pemeriksaan terhadap perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar pada Kamis (24/7/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi. Permohonan Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Handrey Mantiri, seorang karyawan swasta, dan Ong Yenni, anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta. Para Pemohon diwakili oleh Tim Hukum Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) PDI Perjuangan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Wakil Ketua MK Saldi Isra ini, Donny Tri Istiqomah menyampaikan permohonan yang telah diperbaiki.
“Sesuai dengan sidang pendahuluan kemarin, kami sudah memasukkan nasihat Majelis. Sudah kami upayakan yang pertama masukkan dari Prof. Saldi dan Prof. Enny untuk dicek lagi tentang legal standing Pemohon II yaitu Ong Yenni terkait dengan apakah Ong Yenni memiliki legal standing sebagai Pemohon mengingat yang bersangkutan adalah incumbent, nah kami sudah menambahkan alat bukti P-9 bahwa Ong Yenni ini pada dasarnya bukan incumbent anggota DPR RI yang memiliki kewenangan legislasi. Tetapi di penjelasan bukti P-9 yang bersangkutan adalah incumbent anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Periode 2019-2024 yang mana kita ketahui anggota DPRD bukan bagian dari legislator tetapi bagian dari pemerintah daerah rumpun eksekutif, sehingga menurut kami Ong Yenni masih memiliki legal standing,” ujar Donny.
Kemudian mengenai hak konstitusional, Donny mengatakan terpaksa harus merevisi batu uji Pemohon yaitu Pasal 22E ayat (1) tentang hak individual, hak untuk memilih dalam pemilu. Batu uji kedua, adalah Pasal 28D ayat (1) berkaitan dengan hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil.
“Kerugian aktual, kami sudah cek hampir 12 hari untuk melakukan riset untuk Pemohon II yang mana Pemohon anggota DPRD Provinsi Jakarta. Kami hanya fokus penelitian di Provinsi Jakarta. Sayangnya kami belum menemukan, tetapi kami menemukan bukti baru dampak dari penjelasan Pasal 280 ayat (1) ternyata oleh KPU RI dalam praktik 2019 telah ditetapkan dalam peraturan KPU Nomor 23/2018 di Pasal 69 ayat (4) dinyatakan bahwa kampanye ditempatkan di tempat ibadah, pendidikan menggunakan fasilitas pemerintah tidak lagi menjadi bagian dari pidana pemilu. Jadi menurut kami karena kami kesulitan maka kerugian aktual yang kami sebutkan adalah kerugian aktual karena lahirnya produk peraturan KPU Nomor 23/2018 khususnya Pasal 69 ayat (4),” jelas Donny.
Baca juga:
Mempertegas Tempat Dilarang Kampanye
Sebagai tambahan informasi, MK pada Kamis (6/7/2023) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan perkara pengujian UU PemiluPermohonan perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni.
Para Pemohon mengujikan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu. Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, “Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan”.
Sedangkan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Handrey Mantiri (Pemohon I) adalah warga negara sekaligus merangkap sebagai pemilih. Sedangkan Ong Yenni (Pemohon II) adalah warga negara yang menjadi calon anggota legislatif.
Menurut para Pemohon, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu telah membatasi para Pemohon untuk mengikuti kampanye seluruh peserta Pemilu, kecuali di tempat ibadah berdasarkan agama Pemohon I (Gereja Protestan) dan Pemohon II (Vihara).
“Penjelasan pasal ini membolehkan untuk kampanye menggunakan fasilitas pemerintah, kampanye di tempat ibadah dan Pendidikan. Prinsipnya diperbolehkan. Sementara normanya menyatakan dilarang,” kata Donny Tri Istiqomah selaku kuasa hukum para Pemohon.
Diperbolehkannya menggunakan fasilitas Pemerintah untuk kampanye akan membuat Pemerintah sulit untuk bersikap netral kepada semua peserta Pemilu. Sebab sebagaimana diketahui, Presiden dan Kepala Daerah walaupun dipilih secara langsung oleh rakyat namun pencalonannya tetap diusung dan diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik. Dengan dibukanya peluang bagi Presiden dan/atau Kepala Daerah untuk menggunakan fasilitas Pemerintah (kantor pemerintah, mobil dinas, alun-alun, lapangan upacara dan lain-lain) dikhawatirkan Presiden dan/atau Kepala Daerah hanya akan memberikan fasilitas itu kepada peserta pemilu (partai politik) yang menjadi pengusung dan pendukungnya saja.
Para Pemohon meyakini penjelasan norma tersebut bersifat memperluas dan menambah norma serta mengakibatkan pendelegasian kepada aturan yang lebih rendah. Untuk itu, dalam petitum, MK diminta Pemohon untuk menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf f UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.