JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 56/PUU-XXI/2023 menyatakan menolak permohonan pengujian syarat menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan diajukan oleh Partai Berkarya. Sidang pengucapan putusan digelar pada Selasa (18/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, apabila mengikuti penafsiran Pemohon mengenai norma Pasal 169 huruf n dan norma Pasal 227 huruf i UU Pemilu sebagaimana yang dimintakan oleh Pemohon, maka hal tersebut akan membuka kemungkinan adanya situasi di mana seseorang yang telah pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) masa jabatan dipilih sebagai Wakil Presiden.
“Hal ini akan menimbulkan persoalan konstitusional tatkala Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 harus diterapkan. Dalam hal ini, norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 pada intinya mengatur dan sekaligus memerintahkan jikalau terjadi peristiwa Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, maka Presiden digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam kondisi di mana Wakil Presiden tersebut merupakan seseorang yang pernah menjabat sebagai Presiden selama dua masa jabatan, maka tidak terhindarkan munculnya situasi di mana jikalau terjadi peristiwa sebagaimana dimaksudkan oleh norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 maka menjadi kewajiban konstitusional bagi Wakil Presiden tersebut untuk diangkat sebagai Presiden,” ujar Saldi.
Menurut Saldi, jikalau kondisi tersebut terjadi, maka Wakil Presiden yang sebelumnya pernah menjadi Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan/ periode akan menjadi Presiden untuk masa jabatan ketiga. Pada satu sisi, situasi ini justru akan menimbulkan pelanggaran prinsip pembatasan dalam konstitusi yang diatur oleh Pasal 7 UUD 1945. Sementara di sisi lain apabila Wakil Presiden tersebut tidak diangkat sebagai Presiden jelas-jelas melanggar kewajiban konstitusional sehingga bertentangan dengan norma Pasal 8 ayat (1) UUD 1945. Sebagai pemaknaan dan sekaligus penafsiran terhadap Pasal 7 UUD 1945 yang dirumuskan oleh norma undang-undang, norma yang mengatur syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden harus mampu mencegah permasalahan konstitusional tersebut.
Alasan Pemohon untuk membedakan konsekuensi konstitusional antara Presiden yang dipilih dengan Presiden yang diangkat karena menggantikan Presiden yang berhalangan tetap justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang berdampak terhadap ketidakpastian konstitusionalitas pembatasan periodesasi masa jabatan Presiden serta terhadap legitimasi Presiden tersebut.
Dengan demikian, sambungnya, dalil Pemohon bahwa Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bertentangan dengan hak atas kepastian hukum yang adil adalah tidak beralasan menurut hukum.
Lebih lanjut Saldi menerangkan, berkenaan dengan dalil Pemohon mengenai norma Pasal 169 huruf in dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 menyebabkan terhalangnya hak Pemohon untuk memajukan diri secara kolektif sebagaimana dijamin Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana dijamin Pasal 280 ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, hak-hak tersebut apabila dikaitkan dengan hak untuk mengajukan calon Presiden atau Wakil Presiden tetap harus tunduk pada pembatasan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sepanjang pembatasan tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi, maka tidak dapat dikatakan bahwa pembatasan tersebut telah melanggar hak konstitusional warga negara, khususnya dalam hal ini hak untuk memajukan diri secara kolektif maupun hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Norma a quo yang mengatur mengenai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sebagaimana telah diputus isu konstitusionalitas Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022 dan telah ditegaskan kembali oleh Mahkamah pada Sub-paragraf (3.14.1] dan (3.14.2) di atas adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, pembatasan yang diimplementasikan oleh Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU 7/2017 bukanlah pembatasan yang inkonstitusional karena merupakan konsekuensi logis dan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak melanggar hak-hak sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh Pemohon Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” lanjut Saldi.
Menurut Mahkamah, ketentuan norma Pasal 169 huruf in dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu tidak melanggar hak untuk memajukan diri secara kolektif, tidak bertentangan dengan hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dan tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Dengan demikian, dalil-dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Alhasil, Mahkamah dalam amar Putusan Nomor 56/PUU-XXI/2023 menyatakan menolak permohonan Partai Berkarya.
Pendapat Berbeda
Sembilan hakim konstitusi tidak bulat dalam pengambilan putusan tersebut. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Daniel mengatakan Pemohon dalam Perkara Nomor 56/PUU-XXI/2023 yaitu Dewan Pimpinan Pusat Partai Berkarya, merupakan Pemohon yang sama dalam Perkara Nomor 117/PUU-XX/2022. Di samping itu, norma yang dimohonkan pengujian dalam Perkara Nomor 56/PUU-XXI/2023 sama persis dengan Perkara Nomor 117/PUU-XX/2022, yaitu norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.
Danel mengungkapkan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 31 Januari 2023, Mahkamah menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Namun, dalam putusan tersebut, saya memiliki pendapat yang berbeda (dissenting opinion) mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon,” kata Daniel.
Setelah mencermati secara saksama uraian kerugian konstitusional terkait kedudukan hukum Pemohon dalam perkara a quo, menurut Daniel, ternyata tidak terdapat fakta hukum baru yang secara signifikan memengaruhi pendiriannya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 117/PUU-XX/2022. “Sehingga pendirian saya dalam putusan tersebut mutatis mutandis berlaku juga untuk perkara a qua. Dengan demikian, saya tetap berpendirian bahwa Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan Mahkamah semestinya menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard),” tegas Daniel.
Baca juga:
Partai Berkarya Uji Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
MK Tolak Permohonan Partai Berkarya Ihwal Masa Jabatan Presiden
Partai Berkarya Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden
Sebelumnya, dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (12/6) Partai Berkarya mengujikan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu. Pasal 169 huruf n UU Pemilu menyatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Kemudian Pasal 227 huruf i UU Pemilu menyatakan, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Dalam persidangan yang digelar secara luring, Erizal selaku kuasa Pemohon mengatakan norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu yang memuat kata “atau” berimplikasi pada baik calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipersyaratkan “belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” atau “belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Sehingga terdapat konsekuensi logis atas frasa yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu adalah Presiden yang telah menjabat 2 (dua) kali tidak dapat dicalonkan kembali dalam jabatan yang berbeda sebagai calon Wakil Presiden dalam pemilu selanjutnya. Hal ini merugikan Pemohon bersama dengan gabungan partai politik peserta Pemilu Tahun 2024 lainnya untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” serta tidak dimaknai “surat pernyataan calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau surat pernyataan calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.