JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil terhadap Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, Pasal 1768 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada Senin (17/7/2023) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara Nomor 63/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Utari Sulistiowati (Pemohon I) dan Edwin Dwiyana (Pemohon II).
Irawan Santoso selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan poin-poin perbaikan permohonan yang telah dilakukan pihaknya. Perbaikan permohonan, di antaranya susunan identitas Pemohon, penulisan KUHPerdata, kewenangan MK dalam penyelesaian perkara ini dengan mencantumkan seluruh aturan yang berkaitan dengan perkara ini. Selain itu, telah pula dilakukan perbaikan kedudukan hukum Pemohon I dan II sehingga berhak mengajukan permohonan ini.
“Kedudukan kerugian faktual yang dialami Pemohon II atas pasal pada KUHPerdata tersebut. Pemohon terkait dengan riba tak hanya berkaitan dnegan Pemohon yang beragama Islam, tetapi juga terdapat pada ada kedudukan hukum kemerdekaan menjalankan kepercayaan publik,” sebut Irawan dalam sidang kedua yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dari Ruang Sidang Pleno MK.
Berikutnya, para Pemohon menyebutkan kerugian konstitusional yang dialaminya sejatinya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Sehingga berdasarkan norma pada konstitusi tersebut dan elaborasi dari pemikiran para tokoh tentang keberadaan riba tersebut pada intinya tidak dibenarkan adanya pembenaran atas pembungaan atas uang. Sehingga norma-norma pasal yang diujikan ini, jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: Menguji Unsur Riba dalam KUHPerdata
Dalam sidang permohonan yang digelar pada Selasa (4/7/2023), Irawan Santoso selaku kuasa para pemohon mengatakan Pemohon I adalah perorangan warga negara Indonesia dan pernah melakukan perikatan Perjanjian Utang Piutang berlandaskan Akta Notaris Nomor 12 Tanggal 19 Februari 2019 di hadapan Notaris Supriyanto, SH, MM, Notaris yang berkedudukan di Depok, Jawa Barat. Pemohon I mengikatkan diri dengan Perjanjian Utang Piutang dengan Haji Hendri Syah Abdi senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan dikenakan bunga atas pinjaman dimaksud. Sedangkan Pemohon II adalah perorangan warga negara Indonesia yang pernah melakukan Perjanjian Fasilitas Pinjaman Tunai melalui aplikasi Shopee pada tanggal 22 November 2022 sebesar Rp 750.000,- (tujuh ratur lima puluh ribu rupiah) dengan PT Lentera Dana Nusantara. Dalam Perjanjian dimaksud, Pemohon II dikenakan bunga sebesar 3,95% atas keseluruhan utang, yang mana hal tersebut sangat merugikan Pemohon II.
Para Pemohon merasa hak konstitusional untuk memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing dirugikan dengan keberlakuan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata karena para Pemohon harus menyepakati adanya perjanjian utang piutang yang dikenakan bunga atas peminjaman tersebut. Padahal, para Pemohon beragama Islam sehingga harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, yang mana ketentuan dalam Islam bahwa mengambil bunga dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba. Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan, “Bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.”
Menurut para Pemohon, KUHPerdata yang berlaku di negara Republik Indonesia adalah murni peninggalan produk hukum Hindia Belanda yang belum pernah sekalipun mengalami amandemen dan merupakan terjemahan asli Burgerlijk Wetboek (BW) yang mana masih banyak unsur-unsur dalam KUHPerdata yang tidak sesuai dengan adat ketimuran maupun kehidupan keagamaan di wilayah Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Dengan demikian, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim MK menyatakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal1 ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, frasa “bunga” dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 murni peninggalan Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon sehingga sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia dimana mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Klausul “bunga” dalam pasal yang menjadi objek permohonan ini, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan para Pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, juga sangat tidak berkeadilan karena berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi lemah (imperior) dan debitur dalam posisi superior. Mengingat dosa riba yang mengenai pihak berutang, yang mengutangkan, dan yang mencatatkan akan dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga tidak tergolong dalam kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana