JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang kedua dari Perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh pasangan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2018. Sidang pengujian terhadap Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada ini digelar pada Senin (17/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan beberapa alasan yang berbeda dari permohonan yang diajukan pada perkara ini, yakni menjadikan Pasal 18 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasan kepastian hukum dalam menjabat sebagai kepala daerah sampai masa jabatan secara maksimal tersebut selaras dengan hak konstitusional yang ada pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Lebih jelas Yusril mengatakan, sekalipun pasal yang digunakna dalam batu uji pada perkara ini pernah digunakan pada permohonan sebelumnya, diakui oleh Pemohon pada permohonan ini memiliki dasar konstitusionalitas yang berbeda, yakni adanya ketidakpatian dalam masa jabatan Pemohon.
“Hal ini karena pembuat undang-undang sejatinya menggunakan hasil pemilihan pada 2018 untuk membatasi masa jabatan agar berakhir pada 2023. Padahal acuan yang tepat bukanlah kapan dilakukan pemilihan, tetapi kapan pelantikan dilakukannya. Sehingga permohonan ini diajukan dengan alasan berbeda. Maka, jelaslah permohonan ini tidak nebis in idem dan MK berwenang untuk menyelesaikan perkara ini. Oleh karennya, Pemohon memiliki legal standing atas dasar adanya ketidakpastian hukum bagi Pemohon karena terkait dengan masa jabatannya yang dihitung 5 tahun sejak pemilihan dan bukan tanggal dilantik dalam jabatan tersebut,” sebut Yusril pada sidang dengan Majelis Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Berikutnya, Gugum Ridho Putra dalam pembacaan naskah perbaikan yang telah dilakukan Pemohon disebutkan, ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, pada hakikatnya pembuat undang-undang menentukan masa jabatan kepala daerah selama 5 tahun sejak dilantik dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Sementara pada kenyataannya, hal yang dialami Pemohon masa jabatannya dihitung sejak pelaksanaan pemilihan. Atas dasar itu, apabila norma ini tetap diterapkan, maka jelas bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dalam hal menyelesaikan sisa masa jabatannya.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan pada Selasa (4/7/2023), Pemohon mendalilkan merasa dirugikan atas Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. Pemohon menyebut ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU Pilkada telah menegaskan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota memegang masa jabatan selama lima tahun. Artinya, semenjak dilantik pada 2020, masa jabatan para Pemohon akan genap tahun dan berakhir pada 2025. Pelantikan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga (para Pemohon) tertunda selama dua tahun. Tertundanya pelantikan bukan disebabkan oleh kesalahan para Pemohon, melainkan karena Gubernur Provinsi Sulawesi Utara menolak melakukan pelantikan para Pemohon. Sehingga para Pemohon menempuh upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada secara langsung menghilangkan kesempatan para pemohon untuk ikut berperan secara langsung dan mengurus urusan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud bersama-sama dengan DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud secara penuh selama lima tahun. Padahal baik para pemohon selaku bupati dan wakil bupati maupun DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud meskipun dipilih melalui mekanisme yang berbeda dalam hal ini DPRD dipilih melalui pemilu dan para pemohon lewat pilkada keduanya sama-sama dipilih untuk mengemban masa jabatan selama lima tahun.
Dalam permohonannya, para Pemohon menerangkan penggunaan kata “hasil pemilihan” dan bukan “hasil pelantikan” pada ketentuan Pasal 201 ayat (5) tersebut membuka kemungkinan masa jabatan para Kepala Daerah tidak dilaksanakan secara penuh selama lima tahun. Sebab ada kemungkinan terdapat jeda waktu antara pengumuman hasil pemilihan dengan proses pelantikan. Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bupati dan Wakil Bupati mengemban masa jabatan 5 (lima) tahun sejak tanggal pelantikan. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim