JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang yang digelar pada Senin (17/7/2023) tersebut beragenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Permohonan Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh 15 serikat atau federasi pekerja.
Dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar dengan didampingi delapan hakim konstitusi, Anggota Komisi III DPR RI, Supriansa, menegaskan para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam pengujian formil UU Cipta Kerja. DPR memohon kepada MK agar benar-benar menilai apakah para Pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengajuan permohonan a quo sesuai dengan parameter kerugian hak atau kerugian konstitusional dalam pengajuan permohonan formil UU terhadap UUD 1945.
“Dalam hal ini, DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada MK untuk mempertimbangkan dan menilai apakah pemohon memiliki kedudukan hukum dalam pengujian UU a quo secara formil,” kata Supriansa menyampaikan keterangan DPR RI.
Lebih lanjut Supriansa menerangkan, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menentukan peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Pengaturan dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tersebut memberikan kewenangan pada DPR RI untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan oleh Presiden pada masa persidangan berikut. Apabila DPR RI memberikan persetujuan terhadap Perppu maka akan ditindaklanjuti dengan persetujuan peraturan penetapan perppu menjadi undang-undang. Namun apabila DPR tidak memberikan persetujuan terhadap perppu maka dikeluarkan undang-undang pencabutan perppu tersebut.
Menurut DPR, terdapat pembedaan pembahasan undang-undang secara umum dengan undang-undang penetapan perppu yakni terkait jangka waktu. Pada pembahasan undang-undang biasa dapat dilakukan pada satu periode dan terdapat mekanisme yang memungkinkan pembahasan rancangan undang-undang tertentu tersebut untuk dapat dilanjutkan pembahasan pada periode berikutnya.
Selanjutnya, persidangan ini mendengar keterangan Presiden/Pemerintah yang disampaikan oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Asep N. Mulyana yang menyebut pembentukan UU Cipta Kerja telah sesuai prosedur pembentukan yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Asep menegaskan, dalil Pemohon merupakan bentuk asumsi semata terhadap proses pembentukan UU a quo yang dilakukan DPR dan Presiden yang menyamakan dengan pembentukan UU pada zaman orde baru. Proses pembentukan undang-undang di era reformasi ini adalah dasar konstitusionalnya yang lebih kuat yang menekankan kekuasaan membentuk UU adalah kewenangan DPR.
Menurut Asep, peran lesgislasi telah tegas. Sementara itu, dilihat dari sisi kepentingan masyarakat, perbedaan yang nampak dalam proses pembentukan UU di era reformasi ada dua hal pokok yakni jaminan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Antara masyarakat dan wakil rakyat yang duduk di DPR dapat terjadi kontak yang lebih intensif sebagai hasil hubungan yang dibangun secara terbuka.
Asep pun menegaskan, perppu 2/2022 yang telah memenuhi persetujuan DPR dan dalam pembentukan UU a quo telah memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 4, Pasal 5, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 11, Pasal 52 dan Pasal 71 ayat (1) UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan telah memenuhi parameter tiga syarat kegentingan memaksa sebagaimana dinyatakan dalam putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 pada paragraph 3.5, 3.8 sampai dengan 3.13.
Baca juga:
Disahkan pada Masa Reses, UU Cipta Kerja Diuji Secara Formil
Serikat Pekerja Perbaiki Permohonan Uji Formil UU Cipta Kerja
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5/2023), Alif Fachrul Rachmad selaku kuasa Pemohon menyampaikan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Alif melanjutkan Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja—yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja—disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Permasalahan pokok yang menjadi persoalan dalam pengujian formil kali ini ialah proses pembentukannya yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa suatu perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut, jika tidak disetujui maka perppu harus dicabut. Apa yang dimaksud makna persidangan yang berikut, jika kita melihat penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU tentang P3 menjelaskan bahwa persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah perppu ditetapkan.
Kemudian Alif menambahkan masa sidang berikutnya setelah Perppu Cipta Kerja lahir adalah Masa Sidang III Tahun 2022/2023 yang dimulai pada 10 Januari 2023 dan berakhir pada 16 Februari 2023. Menurut Pemohon, pada Masa Sidang III tersebut seharusnya Perppu Cipta Kerja mendapat persetujuan dari DPR sesuai ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3. Pada Masa Sidang III Tahun 2022/2023 tersebut, Perppu Cipta Kerja tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, baru mendapatkan persetujuan pada 21 Maret 2023 (di luar Masa Sidang III 2022/2023). Jika berpegang teguh pada ketentuan norma di atas, maka Perppu Cipta Kerja yang tidak mendapat persetujuan pada masa sidang I DPR harus dicabut dan dengan sendirinya juga kehilangan validitas keberlakuan serta tidak lagi dapat disahkan oleh DPR untuk menjadi UU.
Alif menambahkan limitasi atau batasan waktu yang tertuang dalam Pasal 22 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945 juncto Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU P3 mengenai pemberlakuan perppu sejatinya telah selaras dengan konsep hak presiden dalam memberlakukan perppu, yakni dalam kegentingan yang memaksa sehingga butuh secepatnya pada kesempatan yang sama untuk disahkan menjadi undang-undang. Dengan demikian, sambung Alif, jika ada yang menyatakan Perppu Cipta Kerja masih berlaku karena persetujuan DPR di Rapat Paripurna dapat dilakukan pada masa sidang IV Tahun 2023, dapat dipastikan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang sesat, keliru, dan menyimpangi hukum.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.