JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan memisahkan uji formil dan menunda sidang uji materil terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang Pengucapan Ketetapan ini dilaksanakan pada Senin (17/7/2023) atas permohonan Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 yang diajukan Rega Felix dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Leonardo Siahaan.
Dalam sidang tersebut, Ketua MK Anwar Usman mengatakan perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 ini masih berkaitan dengan pengujian materiil yang isu konstitusionalnya masih sangat tergantung dengan konstitusionalitas atas pengujian formil Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang sedang dilakukan proses pemeriksaan dalam dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Maka terhadap permohonan perkara-perkara a quo pun beralasan untuk dilakukan penundaan.
“Menyatakan menunda pemeriksaan permohonan pengujian materiil Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023. Memerintahkan Panitera Mahkamah Konstitusi untuk mencatat perihal penundaan pemeriksaan permohonan pengujian materiil Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK),” tegas Anwar.
Anwar menjelaskan, Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) tanggal 5 Juli 2023 telah memutuskan untuk menunda pemeriksaan permohonan pengujian materiil dalam perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 dan Nomor 61/PUU-XXI/2023, sampai putusan perkara pengujian formil diucapkan oleh Mahkamah.
Baca juga:
Menyoal Lembaga yang Berwenang Adili Sengketa Halal
Pemohon Perbaiki Petitum dalam Uji UU Cipta Kerja
Menguji Batas Waktu PKWT dalam UU Cipta Kerja
Pemohon Uji Batas Waktu PKWT dalam UU Cipta Kerja Tambahkan Bukti Pengalaman Kerja
Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 58/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Rega Felix. Ia menceritakan pelaksanaan sistem jaminan produk halal yang bersifat wajib atau mandatory memiliki potensi adanya sengketa hukum seperti sengketa terhadap sengketa terhadap penentuan nama produk halal yang halal atau tidak halal. UU JPH dan Cipta Kerja yang membentuk berbagai macam lembaga fatwa termasuk adanya MUI dan Komite Produk Halal meningkatkan potensi sengketa menjadi lebih tinggi.
Menurutnya, Pasal 34 ayat (2) UU Cipta Kerja dan Pasal 48 angka 19 lampiran UU Cipta Kerja yang secara khusus yang memuat perubahan atas norma pasal 33 ayat (5) UU JPH dan Pasal 48 angka 20 lampiran UU Cipta Kerja secara khusus yang memuat penambahan norma pasal 33 ayat (1) UU JPH tidak memberikan penjelasan jika terhadap sengketa yang diakibatkan oleh fatwa tidak halal atau keputusan Komite Produk Halal dapat diselesaikan melalui mekanisme apa.
Sedangkan permohonan Perkara Nomor 61/PUU-XXI/2023 diajukan oleh seorang karyawan swasta bernama Leonardo Siahaan. Pemohon menjelaskan bahwa secara umum pasal a quo mengatur tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang penyelesaiannya didasarkan pada dua keadaan, yaitu jangka waktu selesai atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Pemohon kemudian menjelaskan norma yang mengatur tentang hal serupa pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Pemohon menegaskan bahwa di dalam pasal a quo belum diatur batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu sebagaimana diatur pada norma lain yang dijadikan pembanding oleh Pemohon. Terhadap hal tersebut, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2256 56 ayat (3) UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.