MEDAN, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menjadi narasumber seminar Dinamika Perpu dalam Ketatanegaraan Indonesia yang diselenggarakan oleh Komunitas Gemar Belajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) bertempat di Aula Abdul Hakim USU, Medan pada Sabtu (15/7/2023). Hadir dalam kegiatan tersebut Wakil Dekan I FH USU Agusmida yang diikuti oleh sekitar seratus orang peserta dari komunitas dan mahasiswa lainnya.
Mengawali pembahasan materinya, Manahan menjelaskan bahwa tema ini tidak dapat dilepaskan dari putusan MK sangat relevan untuk terus dikaji mengingat pengujian perpu di MK Nomor 138/PUU-VII/2009. “Dengan putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, MK menyatakan berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang,” ungkap alumnus USU ini. Untuk melengkapi pembahasan, Manahan juga menguraikan secara mendasar perihal perubahan Undang-Undang Dasar 1945, kewenangan, peran, dan fungsi MK.
Manahan dalam pemaparannya mengupas juga aspek teoritis perpu yang dikaitkan konsep freies ermessen atau yang dikenal dengan istilah diskresi. “Jadi freies ermessen sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang dengan tujuan adalah welfare state,” ungkap dosen UPH ini. Manahan juga mengutip pertimbangan hukum Nomor 138/PUU-VII/2009 untuk mempertegas alasan MK berwenang menguji Perpu selain tugasnya menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Perpu dan Pengujian Konstitusionalitas
Manahan menjelaskan bahwa Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru akan dapat menimbulkan status hukum baru hubungan hukum baru, dan akibat hukum baru. “Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu,” paparnya. Manahan menambahkan bahwa sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti Undang-Undang.
Pada pemaparan selanjutnya disampaikan bahwa sejak tahun 2009 hingga 2023 terdapat 34 Putusan mengenai pengujian Perpu yang diuji secara formil dan materiil. Diantara putusan tersebut ada Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (Perpu Covid) dan Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perpu Ciptaker). “kedua Perpu inilah cukup menyita perhatian publik sehinga Perpu Covid terdapat tiga putusan, termasuk juga Perpu Cipta Kerja,” ungkap Manahan.
Manahan juga menyampaikan hal ihwal parameter kegentingan memaksa dalam putusan MK 138/2009 yang seharusnya menjadi landasan dalam lahirnya Perpu di Indonesia. “Pembentukan Perpu memang di tangan Presiden. Artinya tergantung pada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden,” ungkap Manahan
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa penilaian subjektif Presiden terebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai paramater adanya kegentingan yang memaksa. Mengutip putusan MK tersebut yaitu; pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetap tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan kedaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. “Tiga syarat yang dijabarkan dalam putusan 138/2009 itulah sebagai guidance dalam penerbitan Perpu,” ungkap pengajar USU ini.
Seminar dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari para peserta yang mengajukan pertanyaan kritis seputar Perpu dan kewenangan MK kemudian seminar diakhiri dengan foto bersama. (*)
Penulis: MMA
Editor: Lulu Anjarsari P.