Hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jawa Barat dan Sumatera Utara menunjukkan perubahan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemenangan orang atau partai.
Apa yang sedang dan telah terjadi itu adalah gejala munculnya hasil demokrasi secara awal,setelah ditunggu sejak tumbangnya Orde Baru. Pada 1998 orang melihat Soeharto mundur, tapi kemudian masyarakat tidak sabar menunggu perkembangan berikutnya. Tidak ada perubahan kualitatif dari pimpinan politik yang sukses, malahan stabilitas pimpinan nasional didekati oleh dua pemimpin yang sama sekali tidak bersemangat reformasi: Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Walaupun SBY adalah orang santun yang didukung banyak orang baik, orang baik itu dipinggirkan dan peran politik terbesar diambil partai serta individu yang membawakan atribut politik lama: harta dan kekuasaan. Kelompok eksekutif dikuasai orang-orang berbudaya Orde Baru, bahkan masih menganggap pemimpin Orde Baru Soeharto sebagai pahlawan bangsa.
Sementara itu mekanisme pemilihan umum (pemilu) berjalan dengan lancar, tapi dikhawatirkan hasilnya akan dinikmati partai-partai dengan kekuatan lama. Calon presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 menjemukan rakyat karena terdiri atas jenis tokoh yang ituitu juga.
Banyak orang yang menyerah meninggalkan harapan berdemokrasi.Bahkan tidak sedikit yang bernostalgia pada zaman Soeharto dan Orde Baru. Hasil Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara memberikan harapan untuk menghindarkan kita dari kekecewaan beruntun.
Kita akan melihat bahwa calon dari dua partai yang menengah (tidak besar dan tidak kecil) mengalahkan pasangan yang berasal dari partai-partai besar yang telah mendominasi gambaran politik Indonesia selama 40 tahun terakhir. Golkar dan PDIP dipermalukan dalam Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara.
PAN dan PKS akhirnya menemukan realisasi dari harapan yang terkandung sejak mereka didirikan. Mudah-mudahan calon yang mereka ajukan akan merasa sebagai pemegang mandat masyarakat dan bersikap sebagai orang pluralis demokrat, bukan sebagai orang yang membawakan ideologi sempit.
Masih janggal bagi kita untuk melihat seorang jenderal yang terkenal dan mendapat posisi sangat tinggi di Indonesia selama 20 tahun terakhir ini kalah dalam pertarungan jabatan. Bahkan jenderal yang setaraf dengan presiden yang sekarang sekalipun bisa dikalahkan dalam suatu pemilu oleh orangorang yang namanya pun tidak terkenal.Kalaupun ada yang dikenal, itu adalah melalui peran mereka di dalam film dan televisi.
Bagi kita,ini bisa dianggap sebagai tanda mundurnya pengaruh organisasi partai di dalam pemilu, khususnya pilkada,yang berarti terjadi suatu perombakan politik melalui pilkada. Andaikata tidak ada pilkada, tidak ketahuan bahwa partaipartai yang ada sekarang ini sesungguhnya sudah bergeser kekuatannya.
Memang, seperti dikatakan Dede Yusuf,Wakil Gubernur Terpilih Jawa Barat,dia tidak bergerak di luar partai. Hanya persentase kecil kemenangannya dihasilkan oleh dirinya sendiri. Selebihnya adalah hasil kerja keras anggota partai dan organisasi yang berjuang untuk tujuan bersama.
Tidak apa-apa, memang itu fungsi partai.Yang kita tidak kehendaki adalah partai yang berjaya karena akumulasi harta dan kekuasaan dan kemudian menjadi pelindung oknum yang menduduki jabatan publik dengan partai sebagai tameng. Kita ingat pernah ada kesebelasan yang masih dikira kuat karena jarang ikut turnamen, tapi begitu ikut turnamen ternyata kalah dari tim yang tidak punya nama.
Bagi demokrasi, ini mempunyai arti ganda. Orang yang dimenangkan oleh proses pilkada sekarang tidak dibesarkan melalui kaderisasi dan seleksi partai.Dia tampil karena hidup dalam masyarakat. Baru kemudian massa partai bergabung dengan karisma calon untuk memenangi pilkada.Orang yang belum terbukti kemahirannya dalam memimpin birokrasi eksekutif atau birokrasi partai politik, tapi disukai masyarakat, bisa menang.
Berarti pemilih tidak bisa lagi diatur oleh partai. Dari segi mobilitas partai terlihat bahwa pemilih zaman sekarang mempunyai selera yang independen terhadap siapa yang dianggap mewakili rakyat dalam suatu jabatan eksekutif publik. Selain di Jawa Barat, gejala yang mirip terjadi juga di Sumatera Utara,mungkin di Jawa Tengah, mungkin juga di Jawa Timur.
Sekarang orang mulai ragu-ragu apakah orang dari Golkar atau dari PDIP itu mempunyai kans yang lebih besar untuk menang. Sekarang orang melihat dua hal: satu adalah kualitas dan keterkenalan orang di luar kedua partai besar itu; kedua juga tingkat kekesalan orang atau tingkat kejenuhan orang terhadap partai-partai yang sudah lama menguasai panggung tanpa hasil yang nyata.
Sekarang terserahlah kepada pemenang partai-partai yang lebih kecil untuk menunjukkan bahwa sebagai politisi baru mereka itu bisa berperan dalam politik, melebihi orang yang telah berpengalaman puluhan tahun. Selanjutnya, karena politik daerah yang dipersoalkan di sini adalah politik pada tingkat tertinggi, yaitu gubernur atau wakil gubernur, boleh dikatakan orang-orang yang menang dalam pilkada langsung ini adalah kandidat untuk proses politik nasional.
Bukan tidak mungkin bahwa Dede Yusuf akan muncul sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Kalau Dede Yusuf berkampanye melawan Megawati akan sangat menarik, siapa yang akan menang? Lantas, kalau Dede Yusuf menang, hancurlah sudah mitos dari dinastidinasti politik yang memerintah tanpa hasil yang jelas. Satu hal yang perlu kita perhatikan juga bahwa bobot orang barangkali mulai menjadi terpisah dari bobot partai. Sama dengan Barrack Obama di Amerika Serikat.
Dia mendapat dukungan baik dari anggota Partai Demokrat maupun Partai Republik. Begitu juga calon presiden kita pada 2004 SBY yang mendapat dukungan dari orang Golkar, orang PDIP,orang PAN,serta segala macam orang yang memungkinkan dia menang dengan mayoritas yang tinggi.
Sayangnya, setelah menjadi presiden, tidak terlihat kekuatan yang ada pada dirinya dan setelah mengalahkan partai, lalu mengembalikan diri untuk dikendalikan partai sehingga hilanglah tiga tahun dari kepresidenannya. Perombakan politik melalui pilkada akan berhasil apabila orang yang menang dalam pilkada itu sadar akan basis kekuatannya, yaitu suara pemilih.
Politik yang diberdayakan oleh sistem pemilu harus dikenal dan dipakai sebagai penggerak utama mempertebal kepercayaan dirinya, meresmikan popularitasnya, dan membentuk aliansi-aliansi baru berdasarkan kepentingan masyarakat. Baik di daerah maupun secara nasional, tidak lagi mengacu pada kepentingan partai. Bagaimanapun, perubahan adalah suatu keniscayaan.
Kalau mau aman dalam zaman yang berubah, orang harus berani ambil risiko. Orang yang selalu ingin âmain amanâdan berlindung pada harta dan kekuasaan akan mengekspos diri pada bahaya perlawanan masyarakat. (*)
Wimar Witoelar
Sumber www.seputar-indonesia.com
Foto www.google.co.id