JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam asas diferensiasi fungsional, menempatkan setiap penegak hukum menjalankan tugas sesuai dengan peran dan kedudukan yang diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Yakni Penyidik merupakan pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan, dan Jaksa yaitu pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Jamin Ginting selaku Ahli Hukum Tindak Pidana Korupsi dari Universitas Pelita Harapan dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (11/7/2023). Permohonan perkara ini diajukan oleh M. Yasin Djamaludin, seorang pengacara. Dalam permohonannya, Yasin melakukan uji materi tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Lebih jelas Jamin selaku ahli dari Pemohon ini menjelaskan mengenai adanya koordinasi dan fungsi pengawasan diberikan kepada Jaksa sejak dikeluarkannya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagaimana termuat pada Pasal 109 KUHAP dan selaras dengan Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2013. Peran serta Jaksa dalam memberikan petunjuk dalam pra penuntutan adalah untuk penyempurnaan penyidikan dari penyidik. Dengan demikian, seharusnya sambung Jamin, peran penyelidikan dan penyidikan setelah adanya KUHAP tidak lagi diberikan kepada Jaksa.
“Karena pada akhirnya hal ini akan membuat bias fungsi check and balances dalam pengawasan. Di mana penyelidik dan penyidik adalah Jaksa, selanjutnya Penuntut Umum juga adalah seorang Jaksa. Ego sektoral dan emosional institusi untuk saling melindungi ini justru akan mengaburkan fungsi pengawasan,” sampai Jamin Ginting dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Oleh karena itu, dengan berpedoman pada amanah Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007, Jamin berpendapat bahwa perlu dibuat struktur kelembagaan negara dalam penanganan tindak pidana korupsi. Yakni Mahkamah Agung sebagai judicial body, Kejaksaan sebagai prosecutor body, KPK dan Kepolisian/PPNS sebagai investigator body, dan PPATK, BI, BPK, Deplu, Depkeu, Kemenkumham, dan Badan Pengelola Aset sebagai supporting body. Dengan demikian, Jamin melihat bahwa persoalan tumpang tindih fungsi penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang ada saat ini pun akan dapat ditanggulangi dengan tepat.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Penyidik Polri, Kejaksaan, dan KPK Bersinergi dalam Pemberantasan Korupsi
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.