JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) terhadap UUD 1945 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (10/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum dan Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal.
Dalam sidang yang digelar secara luring, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya M. Iqbal Sumarlan mengatakan dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang fundamental dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.
“Meskipun demikian, tidak ada satupun pasal dari amendemen UUD 1945 yang melarang MPR untuk membuat Ketetapan-Ketetapan baik yang bersifat beschikking seperti melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta memberhentikannya sebagai akibat pemakzulan, maupun untuk membuat Ketetapan-Ketetapan yang bersifat pengaturan (regeling) untuk menjabarkan pengaturan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang tidak dapat diatur dengan undang-undang. Oleh sebab itu, penyebutan keberadaan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan, yang hierarkinya berada di bawah UUD dan di atas undang-undang adalah sesuatu yang secara akademis dapat diterima dan dibenarkan,” ujar Iqbal di hadapan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku pemimpin sidang panel.
Menurut Pemohon, keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional. Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966. Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional. Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitutional.
Selain itu, Irfan Maulana Muharam kuasa hukum lainnya menyebut, penjelasan Pasal 17 ayat (1) huruf e UU P3. Sementara Ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 itu hanya membuat klasifikasi tentang Ketetapan-Ketetapan MPRS dan MPR tentang Ketetapan mana yang masih berlaku dan mana yang tidak berlaku lagi. Ketetapan MPR tersebut tidaklah menetapkan bahwa selain Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 2 dan 4, MPR tidak berwenang lagi membuat Ketetapan-Ketetapan yang baru. Dengan demikian, pembatasan terhadap Ketetapan MPRS dan MPR yang masih berlaku sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang dikemukakan dalam Penjelasan tersebut bukan saja bertentangan dengan UUD 1945, tetapi juga bertentangan dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b undang-undang a quo.
MPR Bukan Lembaga Berwenang
Pemohon menyebut MPR bukanlah lembaga yang berwenang untuk merumuskan hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Kewenangan untuk menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah kewenangan Presiden dan DPR dengan menetapkannya di dalam undang-undang berdasarkan norma Pasal 22A UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Undang-undang yang dibentuk berdasarkan norma pasal inilah yang mengatur tentang jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, bukan Ketetapan MPR atau bahkan dalam memorandum DPR-GR seperti terjadi di awal Pemerintahan Orde Baru.
Kemudian, sambung Irfan, pertentangan antara norma di dalam Pasal dengan Penjelasan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Di kalangan anggota MPR sendiri sampai hari ini timbul keragu-raguan apakah dengan perubahan status dan kedudukan MPR akibat amendemen UUD 1945 menyebabkan MPR kehilangan kewenangannya untuk membuat Ketetapan-Ketetapan yang bercorak pengaturan di samping kewenangannya untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, demi kepastian hukum, maka penjelasan atas norma Pasal 7 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan norma Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Sehingga dalam petitumnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Setelah mendengarkan permohonan Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul mengatakan Pemohon tidak perlu mencantumkan dasar pengujiannya. “Nanti di bagian legal standing ataupun di bagian posita nanti ini lebih ditegaskan. Kemudian nanti perlu ditegaskan pada bagian legal standing agar dilihat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang menunjuk itu yang berhak adalah ketua umum dan sekjen. Karena tiap-tiap partai itu beda-beda. Siapa tahu di dalam parpol ini bisa ikut dengan bendahara misalnya atau cukup dengan ketua umum saja. Itu nanti dicantumkan yang menegaskan bahwa yang berhak dalam mengajukan permohonan ini oleh PBB itu Ketua Umum dan Sekjennya. Itu ada hubungannya dengan legal standing,” terang Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan pemohon untuk memperbaiki redaksional dalam permohonan. “Pertama, redaksional semua sudah ditulis baik, tetapi ada salah yang mana tertulis di halaman 15 pengaturan tertulis rehearing. Kedua, alasan permohonan atau argumentasi pemohon itu titik berat persoalan ranah teoritik, saya kira sudah dimuat. Namun andaikata ada permasalahan yang aktual ketatanegaraan yang bisa dikonstruksikan oleh pemohon untuk menyokong dalil pemohon itu bisa tidak dikonstruksikan masalah aktual ketatanegaraan lebih konkret sebetulnya,” ujar Wahiduddin Adams.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Wahiduddin menyampaikan pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Senin, 24 Juli 2023 pukul 10.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.