JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang pengujian materiil Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, Pasal 1768 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara dengan Nomor 63/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Utari Sulistiowati (Pemohon I), dan Edwin Dwiyana (Pemohon II). Agenda sidang adalah Pemeriksaan Pendahuluan.
Dalam sidang yang digelar secara luring dan dipimpin Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul, Irawan Santoso selaku kuasa para pemohon mengatakan Pemohon I adalah perorangan warga negara Indonesia dan pernah melakukan perikatan Perjanjian Utang Piutang berlandaskan Akta Notaris Nomor 12 Tanggal 19 Februari 2019 di hadapan Notaris Supriyanto, SH, MM, Notaris yang berkedudukan di Depok, Jawa Barat. Pemohon I mengikatkan diri dengan Perjanjian Utang Piutang dengan Haji Hendri Syah Abdi senilai Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dengan dikenakan bunga atas pinjaman dimaksud.
Sedangkan Pemohon II adalah perorangan warga negara Indonesia yang pernah melakukan Perjanjian Fasilitas Pinjaman Tunai melalui aplikasi Shoopee pada tanggal 22 November 2022 sebesar Rp 750.000,- (tujuh ratur lima puluh ribu rupiah) dengan PT Lentera Dana Nusantara. Dalam Perjanjian dimaksud, Pemohon II dikenakan bunga/interest sebesar 3,95% atas keseluruhan utang, yang mana hal tersebut sangat merugikan Pemohon II.
Para Pemohon merasa hak konstitusional untuk memeluk dan melaksanakan agamanya masing-masing dirugikan dengan keberlakuan Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata karena para Pemohon harus menyepakati adanya perjanjian utang piutang yang dikenakan bunga atas peminjaman tersebut. Padahal, para Pemohon beragama Islam sehingga harus menjalankan ibadah sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, yang mana ketentuan dalam Islam bahwa mengambil bunga dalam utang piutang adalah hukumnya haram karena mengandung riba.
Pasal 1765 KUHPerdata menyatakan, “Bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian.”
Pasal 1766 KUHPerdata menyatakan, “Barangsiapa sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat mengurangkannya dari pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang; dalam hal ini uang kelebihan itu dapat diminta kembali atau dikurangkan dari pinjaman pokok. Pembayaran bunga yang tidak telah diperjanjikan tidak mewajibkan debitur untuk membayarnya seterusnya; tetapi bunga yang telah diperjanjikan harus dibayar sampai pada pengembalian atau penitipan uang pokoknya, biarpun pengembalian atau penitipan ini telah dilakukan setelah lewatnya waktu utangnya dapat ditagih.”
Menurut para Pemohon, KUHPerdata yang berlaku di negara Republik Indonesia adalah murni peninggalan produk hukum Hindia Belanda yang belum pernah sekalipun mengalami amandemen dan merupakan terjemahan asli Burgerlijk Wetboek (BW) yang mana masih banyak unsur-unsur dalam KUHPerdata yang tidak sesuai dengan adat ketimuran maupun kehidupan keagamaan di wilayah Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Dengan demikian, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim MK menyatakan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 KUHPerdata bertentangan dengan Pasal1 ayat (1) UUD 1945.
Dosa Riba
Selain itu, sambung Irwan, frasa “bunga” dalam Pasal 1765, Pasal 1766, Pasal 1767, dan Pasal 1768 murni peninggalan Hindia Belanda yang diambil dari Code Napoleon sehingga sangat tidak bersesuaian dengan semangat ekonomi Pancasila yang berlaku di Indonesia dimana mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Klausul “bunga” dalam pasal yang menjadi objek permohonan ini, selain membuat tidak terjaminnya kemerdekaan para Pemohon dalam kebebasan menjalankan agama Islam, juga sangat tidak berkeadilan karena berdampak bahwa pihak kreditur akan berada dalam posisi lemah (imperior) dan debitur dalam posisi superior. Mengingat dosa riba yang mengenai pihak berutang, yang mengutangkan, dan yang mencatatkan akan dianggap sebagai pelaku riba, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Konstitusi membatalkan objek permohonan a quo sehingga tidak tergolong dalam kelompok yang mensahkan berlakunya riba bagi umat Islam di Indonesia.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami apakah bersifat potensial atau aktual. “Kerugian itu memang disebabkan oleh pasal ini jadi ada sebab akibat, kerugiannya potensial atau aktual, itu harus dijelaskan. Sedangkan dalam alasan permohonan, Arief mengatakan cukup diuraikan pertentangannya dimana, pertentangan pasal yang diujikan 1765, 1766, 1767, 1768 dengan UUD. Anda menggunakan batu uji atau dasar pengujiannya Pasal 1 ayat (1) ini pertentangannya dimana?, ”tanya Arief.
Sementara Hakim Konstitusional Manahan MP. Sitompul mengatakan legal standing merupakan hal yang penting karena merupakan pintu masuk bagi Pemohon. “Akan tetapi apabila tidak ada uraian yang jelas mengenai kerugian konstitusional, bagaimana itu. Jadi, harus diuraikan a,b,c,d,e,f ini kewenangan hak, kewenangan konstitusional yang diberikan UUD yang dirugikan karena berlakunya UU ini, kerugian yang dimaksud bersifat apa, spesifik kah, khusus, atau actual, atau potensial,” kata Manahan.
Sebelum menutup persidangan Manahan menyebutkan pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Perbaikan paling lambat diterima oleh Kepaniteraan MK pada Senin 17 Juli 2023.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.