JAKARTA, HUMAS MKRI – Pasangan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Talaud dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Tahun 2018. Namun pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih ini baru dilakukan dua tahun berikutnya yakni pada 2020.
Elly dan Moktar merasa dirugikan karena adanya ketentuan yang menyebabkan dua tahun masa jabatannya terpangkas. Ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 menyatakan, “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.”
Merasa dirugikan, Bupati dan Wakil Kepulauan Talaud mengajukan permohonan pengujian norma Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh bupati dan wakil bupati ini digelar pada Selasa (4/7/2023) di ruang sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang digelar secara hybrid, kuasa pemohon Gugum Ridho Putra mengatakan ketentuan Pasal 162 ayat (2) UU 10/2016 telah menegaskan Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota memegang masa jabatan selama lima tahun. Artinya, semenjak dilantik pada tahun 2020, masa jabatan para Pemohon akan genap tahun dan berakhir pada tahun 2025.
Pelantikan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga (para Pemohon) tertunda selama dua tahun. Tertundanya pelantikan bukan disebabkan oleh kesalahan para Pemohon melainkan karena Gubernur Provinsi Sulawesi Utara menolak melakukan pelantikan para Pemohon. Sehingga para Pemohon menempuh upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut para Pemohon, berlakunya ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 secara langsung menghilangkan kesempatan para pemohon untuk ikut berperan secara langsung dan mengurus urusan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Talaud bersama-sama dengan DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud secara penuh selama lima tahun. Padahal baik para pemohon selaku bupati dan wakil bupati maupun DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud meskipun dipilih melalui mekanisme yang berbeda dalam hal ini DPRD dipilih melalui pemilu dan para pemohon lewat pilkada keduanya sama-sama dipilih untuk mengemban masa jabatan selama lima tahun.
“Semua rencana-rencana kebijakan dan program kerja juga telah dibuat bersama oleh para Pemohon dan DPRD Kabupaten Kepulauan Talaud untuk masa kerja selama lima tahun. Berlakunya ketentuan Pasal 201 ayat (5) tersebut pada akhirnya memaksa para Pemohon hanya dapat melaksanakan kebijakan dan program kerja bersama DPRD selama tiga tahun saja,” terang Gugum.
Dalam permohonannya, para Pemohon menerangkan penggunaan kata “hasil pemilihan” dan bukan “hasil pelantikan” pada ketentuan Pasal 201 ayat (5) tersebut membuka kemungkinan masa jabatan para Kepala Daerah tidak dilaksanakan secara penuh selama lima tahun. Sebab ada kemungkinan terdapat jeda waktu antara pengumuman hasil pemilihan dengan proses pelantikan.
Oleh karena itu, para Pemohon dalam petitum meminta MK menyatakan ketentuan Pasal 201 ayat (5) UU 10/2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Bupati dan Wakil Bupati mengemban masa jabatan 5 (lima) tahun sejak tanggal pelantikan.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta para pemohon menyandingkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) untuk mengetahui permohonan yang dapat diajukan kembali. Sebab permohonan sejenis sudah beberapa kali diuji di MK.
Suhartoyo juga meminta pemohon untuk memberi pemahaman kepada Mahkamah terkait argumentasi yuridis dalam memberikan uraian yang berkaitan dengan legal standing. “Di mana sih sebenarnya Pemohon ini dirugikan dengan berlakunya norma ini. Karena norma ini kan sebenarnya memang berlaku universal setiap kepala daerah yang terpilih akan berakhir pada 2023. Di sana tidak ada kaitannya dengan kapan sebenarnya mulai dilantik dan kenapa pelantikannya bisa terlambat itu. Di Pasal 201 itu diatur secara detail rumpun keserentakan itu yang disana memang ada batasan-batasan bahkan yang terpilih di 2020 itu kemudian akan berakhir tidak lebih dari 2024. Kemudian akan ada perhelatan besar soal pilkada serentak itu,” jelas Suhartoyo.
Sementara Wakil Ketua Saldi Isra mengatakan walaupun sudah pernah diuji tetapi masih dapat diujikan kembali sepanjang para Pemohon dapat membuktikan dasar pengujiannya berbeda atau alasan untuk melaksanakan pengujian berbeda. “Yang paling mendasar adalah poin yang dijadikan landasan pengujian,” kata Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan pemohon diberi waktu 14 hari. Perbaikan permohonan paling lambat diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Senin, 17 Juli 2023 pukul 13.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.