JAKARTA, HUMAS MKRI - Dalam mekanisme penegakan hukum pidana, KUHAP secara tegas menentukan adanya sistem penegakan hukum pidana terpadu, termasuk proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri/PNS, penuntutan oleh Kejaksaan, dan pemeriksaan di depan persidangan oleh Hakim. Setiap tindakan penegak hukum diproporsikan secara terbatas dan tertentu dalam prinsip diferensiasi fungsional di antara penegak hukum, diiringi pula dengan sistem pengawasan dari instansi penegak hukum lainnya. Sehingga, dominannya asas keseimbangan yang termuat dalam KUHAP merupakan suatu bentuk pembatasan penumpukan kekuasaan agar penegak hukum tidak mudah terjangkit kecenderungan kecongkakkan kekuasaan.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Irjen Pol. Viktor T. Sihombing dari Kepolisian Republik Indonesia (Pihak Terkait) dalam sidang lanjutan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/6/2023). Permohonan perkara ini diajukan oleh M. Yasin Djamaludin, seorang pengacara. Dalam permohonannya, Yasin melakukan uji materi tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
“Untuk itu dalam rangka mendukung komitmen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, maka Polri, Kejaksaan, dan KPK telah bersinergi dengan baik sebagai wujud optimalisasi pemberantasan korupsi dalam lingkup intelijen, penyidikan, penyelidikan, penyidikan, dan penindakan. Hal ini pun diimplementasikan dalam bentuk Nota Kesepahaman Bersama antara ketiga lembaga, sehingga kekhawatiran Pemohon terhadap tidak adanya pengendalian berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu kepada Kejaksaan menjadi tidak terbukti,” sampai Viktor dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK, Jakarta.
Asas Penjernihan dan Modifikasi
Berikutnya Viktor menyebutkan mengenai prinsip diferensiasi fungsional menjadi wujud penegakan pembagian tugas dan wewenang, antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan asas penjernihan dan modifikasi bagi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.
Penjernihan pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu dengan instansi lainnya, hingga taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi.
Porsi Kewenangan
Terhadap keterangan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta keterangan tambahan dari Polri mengenai porsi kewenangan Kepolisian dengan Kejaksaan dalam Nota Kesepahaman. Sehingga hal demikian dapat menjawab dalil permohonan Pemohon.
Pernyataan senada juga datang dari Wakil Ketua MK Saldi yang menyebutkan bahwa Polri diawasi dalam melaksanakan tugas penyidikan, sedangkan Kejaksaan tidak ada pengawasan. Untuk itu, Saldi meminta agar pada keterangan Pihak Terkait ini disebutkan bentuk pengawasan yang dapat dilakukan terhadap lembaga lain yang melakukan fungsi penyidikan. “Sekiranya bisa didasarkan kepada pengalaman Kepolisian. Apalagi ini ada MoU, jika ada pengawasan maka bagaimana bentuk pengawasannya dan kenapa disarankan pengawasan yang demikian itu,” jelas Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada 11 Juli 2023 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan yaitu mendengarkan keterangan dari Ahli Pemohon, sehingga keterangan tertulis dan data diri Ahli Pemohon dapat diserahkan setidaknya dua hari sebelum dimulainya sidang yang telah diagendakan tersebut.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Pemerintah: UUD 1945 Tidak Melarang Fungsi Ganda Kewenangan Kejaksaan
Diferensiasi Fungsional Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam Pemberantasan Korupsi
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Hal ini karena prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.