JAKARTA, HUMAS MKRI - MKDKI bukan lembaga penegak hukum sehingga tidak terikat pada due process of law. MKDKI merupakan penegak disiplin kedokteran yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan ilmunya.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Redi selaku Ahli yang dihadirkan Presiden/Pemerintah dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Kamis (22/6/2023).
Sidang keenam atas permohonan perkara Nomor 21/PUU-XXI/2023 yang mengujikan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari Presiden/Pemerintah. Sidang atas permohonan yang diajukan oleh Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) (para Pemohon) merupakan Dokter Spesialis Bedah ini dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra dan hakim konstitusi lainnya.
Lebih jelas Redi menerangkan perbedaan kedua lembaga yang dimaksud, yakni lembaga penegak hukum memiliki sanksi pidana dan administrasi negara, sedangkan lembaga disiplin sanksinya dapat berupa sanksi administrasi. Dalam keberlakuan subjek hukum, sambung Redi, pada penegak hukum berlaku bagi semua subjek hukum baik perseorangan ataupun badan hukum, sedangkan pada lembaga disiplin hanya berlaku pada profesi tertentu saja. Berikutnya pada lembaga penegak hukum menggunakan due process of law, sedangkan pada lembaga penegak disiplin tidak menggunakan hal tersebut.
Kewenangan Atributif
Berikutnya Redi menjabarkan bahwa kewenangan KKI dan MKDKI merupakan kewenangan atributif, sehingga pencabutan STR sekaligus SIP oleh KKI merupakan bentuk kesatuan kelembagaan dan ketatalaksanaan yang mempercepat proses pemberian sanksi disiplin dan menghindari terjadinya konflik kewenangan yang dapat merugikan pembangunan kesehatan. Sementara terkait rekomendasi dari MKDKI tergolong pada keputusan konstitutif yang bersifat deklaratif atau pengesahan, artinya tanpa adanya keputusan MKDKI maka keputusan KKI tidak akan pernah ada.
“Dengan demikian, keputusan deklarator ini tidak akan mengubah hak dan kewajiban, tetapi sekadar menyatakan hak dan kewajiban yang telah ada. Keputusan deklaratif ini pun meski diawali dengan keputusan konstitutif, yang meletakkan kewajiban untuk meletakkan sesuatu. Sehingga sifat keputusan KKI dalam pencabutan STR dan SIP hanya bersifat pengesahan semata, karena ia terikat pada rekomendasi MKDKI. Rekomendasi MKDKI yang mengikat KKI telah sesuai dengan kebenaran normatif, teoretik, dan filosofis. Rekomendasi tersebut juga bukan anjuran atau nasihat semata yang memberikan pilihan kepada KKI untuk berbuat atau tidak, tetapi hal ini merupakan tindakan administratif negara yang bersifat konstitutif,” terang Redi yang merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara dan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute, dari Ruang Sidang Pleno MK.
Menjaga Kehormatan Profesi
Ahli berikutnya yang dihadirkan Presiden yaitu Herkutanto yang memberikan keterangan mengenai beberapa hal terkait konstitusionalitas UU Kedokteran. Menurutnya, proses penegakan disiplin berbeda dengan penegakan hukum karena tujuan norma disiplin menjaga kehormatan profesi dengan memproteksi keselamatan masyarakat melalui tindakan disiplin terhadap praktisi yang tidak layak berpraktik. Sementara norma hukum bertujuan mewujudkan kedamaian hidup bersama dengan memberikan rasa keadilan melalui pemenuhan hak dan kewajiban para pihak yang berkonflik.
“Sedangkan dokter yang dicabut STR-nya oleh MKDKI tidak dapat dikatakan sebagai dilanggar haknya berdasarkan UUD 1945. Sebab, melakukan tindakan praktik kedokteran bukan hak umum yang dimiliki oleh semua orang, melainkan hak istimewa atau hak opsional atau hak tambahan yang diberikan karena melakukan praktik kedokteran tersebut dilarang untuk siapa saja, kecuali bagi yang telah memenuhi syarat melakukan praktik kedokteran dan hak tersebut akan otomatis gugur jika syarat-syarat untuk melakukan praktik kedokteran tidak terpenuhi,” jelas Herkutanto yang merupakan ahli Forensik dan Medikolegal, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo.
Terkait dengan tindakan KKI mencabut STR terhadap seorang dokter, Herkutanto menilai hal demikian bukan suatu tindakan hukuman terhadap dokter, tetapi untuk memproteksi keselamatan masyarakat dari dokter yang tidak layak berpraktik. Pada hakikatnya, sambungnya, penanganan kasus disiplin profesi medis tersebut dilakukan secara team work antara KKI dan MKDKI, sehingga KKI terikat pada putusan MKDKI.
Kesaksian Majelis Pemeriksa Disiplin
Sementara itu, Saleh Al Mochdar selaku Saksi yang dihadirkan Presiden memberikan kesaksian sebagai dokter spesialis bedah saraf yang bertindak sebagai majelis pemeriksa disiplin untuk pengaduan MKDKI. Pada kesaksiannya terhadap para Pemohon yang mengajukan pengujian UU Kedokteran ini yang pada sidang terdahulu menghadirkan saksi. Atas pernyataan saksi tersebut, Saleh menyatakan majelis pemeriksaan disiplin saat melakukan sidang tidak pernah memaksa yang bersangkutan untuk mengakui dirinya bersalah. Sementara terkait dengan mekanisme sidang terbuka dan sidang tertutup, Saleh memperjelas bahwa sidang pemeriksaan tertutup telah sesuai dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan KKI Nomor 50 Tahun 2017.
“Sedangkan sidang pembacaan putusan yang bersifat terbuka dengan putusan yang sah dan mengikat, telah pula sesuai dengan ketentuan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (4) Peraturan KKI Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Berikutnya bahwa dalam surat panggilan sidang pembaca putusan, tidak tertulis larangan menyebarkan link zoom,” ungkap Saleh memberikan kesaksian atas pernyataan saksi Pemohon pada sidang terdahulu.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Proses Pemeriksaan MKDKI
Pemohon Uji Materiil Aturan Ketentuan Pemeriksaan MKDKI Bertambah
MKDKI dan KKI Memiliki Independensi Masing-Masing
Pemerintah: KKI Tidak Dapat Periksa Kembali Putusan MKDKI
KKI dan MKDKI Lakukan Fungsi Penghukuman Serupa Lembaga Peradilan
Untuk diketahui, Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) (para Pemohon) merupakan Dokter Spesialis Bedah. Pemohon mendalilkan pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 Tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.