KIRGIZSTAN, HUMAS MKRI – Sebagai penafsir Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) memiliki peran penting dalam membentuk interpretasi mengenai Konstitusi dan menuangkannya ke dalam putusan MKRI. Putusan MKRI yang membatalkan keberlakukan sebuah frasa, pasal, bahkan keseluruhan sebuah undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 merupakan bagian dari peran MKRI sebagai pelindung dan penjaga Konstitusi.
Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams sebagai pembicara dalam sesi 1 Konferensi Internasional Ilmiah dan Praktis bertajuk “Konstitusi sebagai Dasar Membangun Negara Hukum dan Demokrasi” yang digelar pada Rabu (21/6/2023) di State Residence 2, Cholpon-Ata, Kirgizstan.
Selain itu, Wahidudin menyampaikan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MKRI sebagai pelaku kekuasaan kehakiman untuk mengawal Konstitusi dan juga sebagai penafsir akhir Konstitusi. Penafsiran yang dilakukan MK, lanjut Wahiduddin, menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar serta merupakan wujud dari pernyataan Indonesia sebagai negara hukum. “Dimana hal itu dapat dilihat sebagai sikap tegas dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. negara yang berlandaskan konstitusi,” ucap Wahiduddin yang menjadi pembicara bersama delapan narasumber lainnya.
Dalam kesempatan tersebut, Wahiduddin juga menjelaskan bahwa UUD 1945 menghormati, menjamin, dan melindungi hak-hak warga negara—termasuk hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Kemudian, MKRI berperan penting dalam mewujudkan negara hukum dan negara demokrasi serta melaksanakan amanat UUD 1945 yang tertuang dalam putusan-putusannya. Melalui putusan tersebut, lanjutnya, MKRI menjamin dan melindungi hak konstitusional warga negara. Semisal, dalam putusan mengenai hak warga negara atas air yang dijamin dalam UUD 1945. Ia menjelaskan hak atas air tidak diatur secara eksplisit sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam UUD 1945. Hal ini karena UUD 1945 hanya mengatur bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lainnya Wahiduddin mencontohkan putusan progresif MK yang mengakui dua hak konstitusional, yakni hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak untuk memilih, dan hak untuk dipilih. Mengenai hak bantuan hukum, Mahkamah menyampaikan melalui Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 bahwa hak bantuan hukum merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus diperhatikan dan diakui sebagai hak konstitusional warga negara. Namun, konstitusi tidak secara eksplisit mengaturnya. Kemudian, mengenai hak memilih dan hak untuk dipilih. Wahiduddin menjelaskan dalam Perkara Nomor 11-17/PUU-I/2003, Mahkamah menyatakan bahwa hak konstitusional untuk memilih dan dipilih dilindungi oleh Konstitusi, undang-undang, dan Konvensi internasional.
“Dengan demikian, setiap pembatasan terhadap penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak-hak tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Hak untuk memilih dan dipilih memang tidak diatur secara tegas di dalam UUD 1945, namun Mahkamah menegaskan hak tersebut sebagai bagian dari konstitusional dan hak asasi manusia,” terang Wahiduddin yang menyampaikan materinya bertajuk “Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir dan Pengawal Konstitusi”.
Untuk diketahui, Konferensi yang berlangsung selama dua hari pada Rabu—Kamis (21—22/6/2023) digelar dalam rangka memperingati HUT ke-30 MK Kirgizstan tersebut dihadiri oleh MK serta institusi sejenis dari 16 negara, di antaranya Indonesia, Belgia, Portugal, Uzbekistan, Azerbaijan, dan lainnya. Konferensi ini merupakan forum penting untuk membahas peran keadilan konstitusional dan dampaknya terhadap pembentukan negara hukum yang demokratis. Para peserta acara akan berbagi pengalaman di bidang ketatanegaraan serta membahas isu-isu terkini terkait tantangan dan perspektif badan pengawasan ketatanegaraan di era perubahan global. (*)
Penulis: LAP
Editor: Lulu Anjarsari P.