JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan pengujian materiil Pasal 509 Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Kamis (15/6/2023). Permohonan diajukan oleh Mohamad Anwar yang berprofesi sebagai advokat.
Sidang pengucapan Putusan Nomor 47/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi bertempat di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
KUHP 2023 Belum Berlaku
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, Mahkamah menyatakan norma pasal yang diajukan pengujian tersebut terdapat dalam UU 1/2023 yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 624 disebutkan UU 1/2023 mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Artinya, UU 1/2023 akan mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2026. Sedangkan permohonan Pemohon diajukan pada tanggal 26 April 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 3 Mei 2023, sehingga pada saat permohonan ini diajukan ke MK dan diperiksa sebagai perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, UU yang diajukan pengujiannya belum berlaku.
Suhartoyo melanjutkan, Pasal 509 yang terdapat dalam UU 1/2023 yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon terdapat dalam Undang-Undang yang belum berlaku dan dengan sendirinya belum mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 87 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 (UU 12/2011) yang menyatakan, "Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan, Berkaitan dengan itu, Pasal 624 UU 1/2023 menyatakan, "Undang- Undang ini mulai berlaku setelah 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Dengan demikian, Undang-Undang a quo belum berdampak terhadap adanya anggapan kerugian konstitusional, baik secara potensial, apalagi secara aktual kepada Pemohon.
Anggapan Kerugian Konstitusional
Selanjutnya, Suhartoyo mengatakan, berdasarkan fakta hukum, UU 1/2023 baru mulai berlaku 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan. Hal ini mengakibatkan UU 1/2023 belum memiliki kekuatan hukum mengikat sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007.
Dengan demikian, Pemohon telah terbukti tidak memenuhi persyaratan adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang. Sehingga, terkait dengan syarat selebihnya, yaitu adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) yang ditimbulkan antara hak konstitusional dimohonkan pengujian, dengan sendirinya tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, karena syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional dimaksud adalah bersifat kumulatif.
Kedudukan Hukum Pemohon
Dalam perspektif pemberian kedudukan hukum kepada Pemohon, Mahkamah harus mempertimbangkan syarat yang bersifat absolut dan kumulatif yaitu adanya subjek hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 51 UU MK dan syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang ditentukan I dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-11/2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007.
Terlebih, dalam mempertimbangkan dan menilai persyaratan kedudukan hukum Pemohon di MK tidak dapat dipisahkan dengan isu konstitusionalitas dan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Dengan demikian, bisa jadi dalam memberikan kedudukan hukum antara permohonan yang satu dengan yang lainnya Mahkamah dapat memberikan pertimbangkan yang berbeda.
Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan. Namun demikian, seandainya pun Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut dan Mahkamah dapat masuk untuk mempertimbangkan pokok permohonan, namun oleh karena ketentuan Pasal 509 UU 1/2023 merupakan ketentuan norma yang belum berlaku dan belum memiliki kekuatan hukum mengikat, Mahkamah akan berpendirian bahwa permohonan Pemohon adalah permohonan yang prematur.
Mahkamah menyatakan berwenang mengadili permohonan tersebut. Namun dikarenakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan lebih lanjut.
Baca juga:
Meretas Jerat Pidana Bagi Advokat Saat Jalankan Tugas
Pemohon Perbaiki Uji Aturan Sanksi Pidana Bagi Advokat
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 47/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945, diajukan oleh Mohamad Anwar yang berprofesi sebagai advokat. Anwar menguji Pasal 509 KUHP yang menyatakan, “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III:
a. Advokat yang memasukkan atau meminta memasukkan dalam Surat Gugatan atau surat permohonan cerai atau permohonan pailit, keterangan tentang tempat tinggal atau kediaman tertugat atau debitur, padahal diketahui atau patut diduga bahwa keterangan tersebut bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya.
b. Suami atau istri yang mengajukan gugatan atau permohonan cerai yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat atau sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
c. Kreditur yang mengajukan permohonan pailit yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya kepada advokat sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Selasa (16/5/2023), Galang Brilian Putra selaku kuasa hukum Pemohon menyebutkan, Pemohon menguji ketentuan norma Pasal 509 KUHP untuk mencegah terjadinya jerat pidana bagi advokat yang sedang menjalankan tugasnya. Sehingga tidak perlu menunggu harus jatuhnya korban yang tidak bersalah saat ketentuan norma a quo sudah berlaku (2 tahun ke depan).
Menurutnya, seorang advokat mendapatkan imunitas saat menjalankan tugas untuk kepentingan pembelaan klien, selama didasari dengan adanya itikad baik, baik di dalam ataupun di luar pengadilan. Maka apa yang dilakukan advokat tersebut tidak dapat dituntut baik secara perdata ataupun pidana.
Dia juga mengatakan, rumusan norma Pasal 509 huruf a, huruf b dan huruf c, saling berkelindan. Dimana apabila advokat melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud huruf a, maka advokat tersebut terkena sanksi pidana. Demikian pun apabila suami atau istri yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud huruf b, maka advokat yang menangani perkara tersebut juga dapat terkena sanksi pidana walaupun perbuatan itu dilakukan oleh suami atau istri yang menjadi klien advokat tersebut memberikan keterangan yang tidak benar kepada advokat seakan keterangan itu adalah benar.
Galang pun menegaskan, ketentuan norma Pasal 509 KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil serta menimbulkan ancaman serta ketakutan bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya dan mengancam martabat dan kehormatan advokat. Hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, dalam petitum Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 509 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Y.