JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi pembicara kunci dalam “The 3rd International Conference on Humanity, Law, and Sharia (ICHLASH)” yang digelar Fakultas Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Sumatera Barat, secara hybrid pada Rabu (14/6/2023). Dalam kegiatan bertema “Islamic Law and The Development of Human Civilization: Recognition, Integration, and Recontextualization” ini hadir pula pembicara konferensi, di antaranya Abdurrahman Raden Aji Haqqi dari University Islam Sulthan Syarif, Brunei Darusslam; Suliman Hassan Elwarfali dari Alrefak University, Libya; Fithria Wardi dari Universiti Sains Islam Malaysia; Dina Afrainty dari Melbourne University, Australia; Noorhaidi Hasan dari UIII Indonesia; dan Elimartati dari UIN Mahmud Yunus Batusangkar.
Dalam ceramah berjudul “Hukum Islam: Pengakuan, Penyerapan, dan Penyesuaian”, Wahiduddin menyebutkan di Indonesia, hukum Islam menempati posisi yang penting dan strategis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem hukum nasional. Ada ruang apresiatif yang cukup memadai bagi implementasi hukum Islam dalam spektrum hukum nasional. Hal ini, sambungnya, terlihat dari Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945, yang menjadi salah satu sumber inspirasi dan cita‐cita hukum Indonesia dan Pasal 29 UUD 1945. Pada norma ini, Wahiduddin mengatakan negara hadir untuk menjamin hak‐hak dasar penduduk untuk melaksanakan ibadah agama masing-masing. Dengan kata lain, negara mengakui eksistensi, melindungi, dan memberikan pelayanan bagi warga negara agar pelaksanaan ajaran agama dan hukum Islam dapat berjalan, baik melalui hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Berbicara legislasi hukum Islam, Wahiduddin mencermati, di Indonesia setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili sudut pandang dalam pemberlakuan hukum Islam, yakni kelompok yang menekankan pada pendekatan normatif dan kelompok yang menekankan pada pendekatan kultural. Dalam pandangannya, kelompok kedua lebih cocok menjadi langkah awal strategi legislasi hukum Islam di Indonesia. Sebab, jika ingin menciptakan masyarakat madani tidak harus serta-merta menerapkan hukum Islam, sementara konsep yang ingin diterapkan belum detail. Hal yang terpenting, menurutnya, yang perlu diterapkan yakni melakukan penyerapan nilai‐nilai moral positif yang terkandung dalam hukum Islam.
Lebih jauh Wahiduddin mengatakan di Indonesia ada beberapa faktor yang memudahkan legislasi hukum Islam, yaitu mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam sehingga memperjuangkan hukum Islam dalam hukum nasional memungkinan akan mendapat dukungan mayoritas rakyat; kesadaran beragama memiliki pengaruh terhadap kesadaran hukum , sehingga semestinya hukum Islam menjadi kesadaran mayoritas rakyat; dan pada tataran yuridis konstitusional, berdasarkan Sila Pertama Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945, hukum Islam merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ditampung dalam pembinaan hukum nasional. Di samping itu, sistem politik Indonesia memberikan peluang bagi tumbuh dan berkembangnya aspirasi politik Islam, termasuk aspirasi untuk melegislasikan hukum Islam.
“Menyoal penyerapan hukum Islam dalam hukum nasional, yang terlihat dari semangat Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terjadi karena hukum Islam mampu membawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta. Sehingga tidak akan terjadi diskriminasi terhadap warga negara yang berbeda budaya maupun agama,” sampai Wahiduddin yang menyampaikan ceramah secara daring dari Ruang Kerja Hakim di Gedung 1 MK, Jakarta.
Dalam konferensi internasional ini, hadir para panelis dan pejabat UIN Mahmud Yunus, di antaranya Rektor UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Marjoni Imamora; Dekan Fakultas Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Zainuddin; para Wakil Dekan di lingkungan Dekanat Fakultas Syariah UIN Mahmud Yunus Batusangkar. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.