JAKARTA, HUMAS MKRI - Rega Felix, seorang advokat sekaligus pemilik usaha kuliner dengan nama dagang “Felix Burger” mengujikan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan Pasal 48 angka 19 dan 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang memuat perubahan atas norma Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 33A ayat (1) UU JPH. Sidang perdana untuk memeriksa permohonan Nomor 58/PUU-XXI/2023 tersebut digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/6/2023).
Pasal yang diujikan Pemohon, yakni Pasal 34 ayat (2) UU JPH yang berbunyi, “Dalam hal sidang fatwa halal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan produk tidak halal, BPJHP mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha yang disertai dengan alasan.” Kemudian, Pasal 48 angka 10 Perppu Cipta Kerja yang menyatakan, “Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3) terlampaui, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh komite fatwa produk halal berdasarkan ketentuan fatwa halal.” Selain itu, Pemohon juga menguji Pasal 48 angka 20 Perppu Cipta Kerja yang berbunyi, ”Dalam hal permohonan sertifikasi halal dilakukan oleh pelaku usaha mikro dan kecil melalui pernyataan halal, penetapan kehalalan produk dilakukan oleh komite fatwa produk halal berdasarkan ketentuan fatwa halal.”
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo ini, Rega mendalilkan pelaksanaan sistem jaminan produk halal yang bersifat wajib atau mandatory memiliki potensi adanya sengketa hukum seperti sengketa terhadap sengketa terhadap penentuan nama produk halal yang halal atau tidak halal. UU JPH dan Cipta Kerja yang membentuk berbagai macam lembaga fatwa termasuk adanya MUI dan Komite Produk Halal meningkatkan potensi sengketa menjadi lebih tinggi.
Menurut Felix, Pasal 34 ayat (2) UU Cipta Kerja dan Pasal 48 angka 19 lampiran UU Cipta Kerja yang secara khusus yang memuat perubahan atas norma pasal 33 ayat (5) UU JPH dan Pasal 48 angka 20 lampiran UU Cipta Kerja secara khusus yang memuat penambahan norma pasal 33 ayat (1) UU JPH tidak memberikan penjelasan mekanisme yang ditempuh jika terjadi sengketa yang diakibatkan oleh fatwa halal dari keputusan Komite Produk Halal—baik MUI maupun Komite Produk Halal. Ia menilai tanpa adanya penafsiran yang jelas pasal yang diuji dalam penerapannya, maka akan menciptakan kekacauan dalam sistem jaminan produk halal, seperti pertentangan antara fatwa MUI dengan fatwa Komite Fatwa terhadap kehalalan suatu nama. Ketika tidak ada upaya hukum yang jelas, hal ini dapat menimbulkan kerugian konstitusional pemohon yang telah dilindungi berdasarkan Pasal 28C ayat (1), 28D ayat (1), 28E ayat (2), dan Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Dalam permohonannya, Felix mengungkapkan pembentukan Komite Produk Halal sudah memiliki landasan hukum. Hanya saja, sambungnya, perlu ditambahkan penjelasan mengenai upaya hukum melalui pengadilan agama untuk mengatasi problema kontradiksi antar-substansi fatwa ketika hal tersebut terjadi. “Hal ini adalah permasalahan konstitusional. Dan karena UU Cipta Kerja tidak menjelaskan hal tersebut, maka melalui Mahkamah Konstitusi inilah ikhtiar mengenai hal tersebut dilaksanakan,” ucap Felix.
Untuk itu, dalam petitumnya, Felix meminta agar Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU JPH bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘terhadap fatwa halal yang menyatakan produk tidak halal dapat diajukan upaya hukum melalui Pengadilan Agama’,” tandas Felix.
Korelasi Norma
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihat Panel Hakim mengatakan pada bagian kewenangan agar diformulakan agar lebih kuat. Kemudian, pada petitum juga diperkuat karena petitum merupakan representasi dari posita. “Dalam permohonan ini Saudara minta supaya permohonan pensertifikatan penetapan kehalalan produk itu supaya disediakan upaya hukum ketika permohonan itu ada penolakan. Yang perlu dielaborasi pada posita tentunya yang pertama jenis upaya hukumnya yang dimaksudkan itu upaya hukum apa. Apakah upaya hukum banding? Apakah keberatan atau di level apa?” ucap Suhartoyo.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon untuk mengulas lebih mendalam agar mengetahui secara komprehensif mengenai duduk persoalan ketika mengajukan permohonan produk halal.
Sebelum mengakhiri persidangan, Enny mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan. Permohonan perbaikan harus diserahkan kepada Kepaniteraan MK pada Senin, 26 Juni 2023. Selanjutnya, Kepaniteraan MK akan menjadwalkan sidang kedua dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina