JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah mahasiswa Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Pedagogik dan Psikologi Pendidikan Universitas PGRI Wiranegara (Uniwara), Pasuruan, Jawa Timur, mekalukan kunjungan studi ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, (13/6/2023). Kunjungan ini diterima oleh Asisten Ahli Hakim Konstitusi, Merry Christian Putri, di Aula Gedung 2 MK.
Merry dalam paparannya mengatakan konstitusi harus bisa mengatur bagaimana sebuah organ negara bekerja dengan kewenangan-kewenangannya agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Dijelaskan olehnya, mengutip pendapat Sri Soemantri, setidaknya harus ada tiga aspek dalam konstitusi, yakni perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, kedua struktur ketatanegaraan yang fundamental, dan ketiga pembagian dan pembatasan kekuasaan yang fundamental.
Menurut konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Indonesia merupakan negara demokrasi dan juga negara hukum, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (UUD). Pasca amendemen UUD 1945, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara, semuanya memiliki kedudukan yang sejajar berdasar fungsinya. Sehingga kewenangan antarlembaga yang satu dengan yang lainnya tidak ada yang saling bersinggungan.
Lebih lanjut dikatakan Merry, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, MK menjalankan fungsi sebagai penjaga ideologi dan konstitusi, penafsir akhir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak konstitusional warga negara, dan pelindung hak asasi manusia. Berbicara mengenai kewenangan, meski ada kesamaan kewenangan dalam hal pengujian norma, MK sebagai lembaga peradilan memiliki perbedaan dengan Mahkamah Agung (MA), dimana MK memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD, sementara MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU.
Kewenangan berikutnya yang diberikan kepada MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan MK wajib memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar berdasar konstitusi. Selain kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945, MK juga memiliki kewenangan tambahan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada),
Berikutnya Merry membahas asas-asas utama dalam pelaksanaan kewenangan MK yakni asas praduga konstitusionalitas UU. Hal ini sama halnya dengan asas praduga tak bersalah pada perkara pidana. Maka dalam perkara pengujian norma, Hakim Konstitusi harus menilai suatu UU adalah konstitusional hingga terbukti dalam persidangan konstitusional atau inkonstitusional.
Merry menegaskan, putusan MK final dan mengikat untuk semua warga negara. Meski suatu permohonan pengujian UU diajukan oleh seorang warga, namun putusan tersebut berlaku untuk semua warga negara karena putusan MK setara dengan UU, bahkan merupakan tafsir dari konstitusi.
Asas berikutnya adalah norma yang sama tidak dapat dilakukan pengujian kembali. Namun demikian, suatu norma dapat dilakukan pengujian jika didasarkan pada batu uji dan argumentasi yang berbeda.
Berikutnya, MK dalam memeriksa suatu perkara mendengar semua pihak. MK memberikan kesempatan kepada para pihak dalam persidangan untuk menyampaikan pandangannya dalam persidangan. Pembentuk UU diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan terkait latar belakang pembentukan norma yang sedang diuji. Para pihak, baik pemohon, pembentuk UU, atau pun pihak terkait yang memiliki kepentingan terhadap norma yang diuji dapat mengajukan ahli maupun saksi untuk memperkuat argumentasinya.
Pengajuan permohonan ke MK tidak harus datang langsung ke MK. Selama Pandemi Covid-19 kemarin, MK membuka akses peradilan secara daring bagi para pihak karena MK memiliki visi mewujudkan lembaga peradilan yang modern dan tepercaya. Dalam hal menuju peradilan yang modern, MK membangun sistem agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses MK.
Di hadapan para Mahasiswa Merry juga menjelaskan tentang komposisi hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR, Presiden, dan MA. Masing-masing lembaga pengusul memiliki mekanismenya sendiri dalam melakukan seleksi. Jadi, MK tidak memiliki kewenangan atau pun hak untuk menentukan seperti apa hakim konstitusi yang akan dipilih. Penunjukan Hakim Konstitusi dari tiga lembaga negara itu sebagai simbol tiga cabang kekuasaan negara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian, seorang hakim konstitusi belum tentu sejalan dengan pandangan lembaga pengusulnya, bahkan masing-masing hakim konstitusi memiliki pendapatnya sendiri-sendiri dan tidak dapat mengintervensi satu sama lain.
Penulis: Ilham WM.
Editor: Nur R.