JAKARTA, HUMAS MKRI – Meskipun Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan organ khusus pada profesi kedokteran, namun karena dibentuk dan diatur dengan ketentuan undang-undang, maka atributnya pun berubah menjadi lembaga negara publik. Konsekuensinya, tugas dan fungsinya pun harus tunduk pada hukum publik.
Hal ini disampaikan oleh Dosen Bagian Hukum Tata Negara FH Universitas Udayana Jimmy Z. Usfunan dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) pada Selasa (13/6/2023). Sidang kelima atas perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XXI/2023 yang mengujikan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran ini beragendakan mendengarkan keterangan dari dua ahli dan satu saksi yang dihadirkan oleh Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) (para Pemohon) merupakan Dokter Spesialis Bedah.
Lebih jelas Jimmy mengatakan, apabila dikaitkan dengan adanya lembaga MKDKI yang menjadi bagian dari KKI, bahwa di antara keduanya terdapat delegasi kewenangan dalam hal pelaksanaan penegakan disiplin bagi dokter dan dokter gigi. Dan pendelegasian ini telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 67 UU Kedokteran.
Dalam menjalankan tugas, KKI mempunyai kewenangan menerbitkan dan mencabut STR. Atas dasar itu, sambung Jimmy, KKI seharusnya memiliki kewenangan untuk mengkaji terhadap pelanggaran yang dilakukan dokter dan dokter gigi yang berakibat perlu atau tidaknya pengenaan sanksi. Ia berpendapat kendati MKDKI dan KKI bukan lembaga yudisial, namun karena ia menjalankan fungsi penghukuman, maka hal tersebut bermakna mendudukkan sebuah lembaga administratif yang telah menjalankan peran serupa dengan lembaga peradilan. Dengan demikian, jelasnya, KKI dan MKDKI merupakan lembaga administratif yang juga menjalankan fungsi yudisial. Sehingga, sistem yang berlaku umum atau universal di peradilan pun harus dilakukan oleh lembaga ini (KKI dan MKDKI).
Jimmy mengilustrasikan dengan beberapa bentuk pelaksanaan asas universal di peradilan, di antaranya persidangan terbuka untuk umum dan independen. Hal ini menurutnya perlu dilakukan untuk mencegah perlakuan sewenang-wenang dalam pemeriksaan dan mampu menghadirkan rasa keadilan. Selain itu, asas berikutnya yang perlu dilakukan KKI dan MKDKI, yakni adanya proses pengadilan yang berjenjang sebagaimana yang terdapat pada asas-asas universal di peradilan. Dengan karakter kelembagaan KKI dan MKDKI yang demikian, maka proses pengadilan yang berjenjang ini semestinya dilakukan lembaga sehingga bukan hanya pada penekanan proses peradilannya, tetapi juga pada proses pemeriksaan peradilan yang mampu memunculkan keadilan pada setiap keputusannya.
“Apabila ruang evaluasi bagi KKI terhadap putusan MKDKI ke depan diadakan, maka tidak akan ada pihak yang akan dirugikan, melainkan nilai-nilai keadilan bisa diperjuangkan. Oleh karenanya, jika tidak terdapat ruang evaluasi bagi KKI terhadap Keputusan MKDKI, maka kata ‘mengikat’ yang terdapat pada pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” jelas Jimmy dalam sidang yang dihadirinya secara langsung dari Ruang Sidang Pleno MK.
Membangun Peradilan Profesi
Selanjutnya, Pemohon juga menghadirkan Pakar Hukum Kesehatan Ahli Hasrul Buamona yang menyampaikan perlunya membangun kemandirian peradilan profesi dalam kekuasaan kehakiman. Menurutnya, pelayanan kesehatan tidak dapat dilihat secara parsial yang hanya fokus pada profesi medis, tetapi pelayanan kesehatan juga merupakan institusi yang padat modal, teknologi, sumber daya manusia, dan masalah.
Berbicara disiplin keilmuan kedokteran, Hasrul melihat hal tersebut menjadi bagian dari instrumen untuk mengetahui sejauh mata seorang dokter mempraktikkan keilmuan secara rasional, bertanggung jawab, dan pengabdian terhadap pasien. Selain itu, disiplin kedokteran dapat dijadikan barometer profesionalitas dokter secara kualitas pendidikan. Sehingga apabila dokter melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, maka KKI berwenang mencabut STR yang dimiliki.
Perlu Peradilan Profesi
Namun terhadap kedudukan pasal a quo, Hasrul mengatakan sudah seharusnya dibentuk peradilan profesi di bawah Mahkamah Agung. Sebab, secara norma pembentukan MKDKI meski dinyatakan dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 namun kedudukannya rancu dan secara hukum tidak layak untuk mengadili pelanggaran keilmuan kedokteran. Sebab posisinya hanya panjang tangan lembaga KKI, sementara dampak hukum putusannya sangat luas.
“Sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip kemandirian sebuah institusi peradilan. Sedangkan MKDKI telah melakukan fungsi peradilan dengan telah memeriksa dan menilai alat bukti serta memutuskan suatu kesalahan profesionalitas keilmuan dokter. Maka, patut mempertanyakan sah atau tidaknya kemandirian dan imparsial kedudukan MKDKI dan keputusan yang telah dikeluarkannya melalui rekomendasi-rekomendasi kepada KKI,” jelas Doktor Bidang Hukum Kesehatan dari UII tersebut.
Tak Ada Mekanisme Pembatalan Sanksi
Dalam sidang tersebut, Pemohon juga menghadirkan Maria Yustina selaku dokter sebagai Saksi. Ia mengungkapkan bahwa dirinya pernah menjalani dua kali sidang verifikasi oleh MKDKI atas suatu perkara gugatan dari pasien. Pada penyelenggaraan sidang verifikasi pertama, ia diperiksa oleh Panitera. Saat persidangan berlangsung, Maria merasa dirinya dipojokkan karena harus mengeluarkan pernyataan bersalah atas perbuatan yang dilakukannya. Pada saat persidangan, ia sejatinya didampingi oleh seorang pendamping, namun ia tidak dapat menggunakan hak pendampingan tersebut. Usai sidang pertama, ia diminta untuk menyerahkan surat tanggapan dan menunggu tahap selanjutnya.
“Saya kembali diundang dalam sidang yang di dalamnya mengulang hal-hal yang dilakukan pada persidangan pertama. Namun pada sidang kedua tersebut, saya pun diberikan opsi untuk memilih informasi yang akan disampaikan, apakah sesuai dengan pernyataan pada sidang pertama atau memberikan informasi terbaru. Saya memilih saya pakai pertama saja, tetapi saya hanya ingin menanyakan kesalahan saya yang diminta dinyatakan pada pernyataan sidang pertama tersebut ada di mananya? Karena sidang pertama saya harus menyatakan diri bersalah,” kata Maria yang pernah mendapatkan sanksi MKDKI.
Hal yang menjadi pertanyaan Maria dari proses pendisiplinan yang dijalaninya bahwa dari keputusan MKDKI, ia tidak diperkenankan untuk membagikan tautan pembacaan putusan yang dialaminya. Namun pada kenyataannya, hal yang dijatuhkan padanya diketahui oleh banyak koleganya sesaa dokter. Berikutnya, Maria mempertanyakan kendati pihaknya telah berdamai dengan penggugat, tetapi keputusan mKDKI yang telah ditetapkan tersebut tidak dibatalkan sehingga semua pihak tetap harus menjalankan sanksi yang telah diputuskan tersebut.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Proses Pemeriksaan MKDKI
Pemohon Uji Materiil Aturan Ketentuan Pemeriksaan MKDKI Bertambah
MKDKI dan KKI Memiliki Independensi Masing-Masing
Pemerintah: KKI Tidak Dapat Periksa Kembali Putusan MKDKI
Untuk diketahui, Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) (para Pemohon) merupakan Dokter Spesialis Bedah. Pemohon mendalilkan pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dinilai bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 Tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana