JAKARTA, HUMAS MKRI - Jaksa Agung merupakan pejabat negara yang bertindak sebagai pimpinan serta penanggung jawab tertinggi dari kejaksaan. Jaksa Agung bertindak sebagai pengendali pelaksana tugas dan wewenang kejaksaan di Indonesia. Dalam pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman dan bagian dari lembaga pemerintahan, kejaksaan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Demikian keterangan DPR RI yang disampaikan Anggota Komisi III Arteria Dahlan dalam sidang lanjutan uji materiil Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) pada Senin (12/6/2023). Sidang kelima Perkara Nomor 30/PUU-XXI/2023 ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Perkara ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar yang berprofesi sebagai Analis Penuntutan/Calon Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tojo Una-Una, Wakai.
Lebih lanjut Arteria mengungkapkan, bahwa berdasarkan pada Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945 pada intinya menempatkan Penuntut Umum sebagai pengendali perkara sekaligus menjalankan tugas penuntutan. Dalam melaksanakan tugas dalam bidang penuntutan ini, kewenangan kejaksaan dapat menentukan suatu perkara dapat dilanjutkan atau tidak ke pengadilan. Hal ini, sambung Arteria, memiliki arti penting dalam menyeimbangkan aturan yang berlaku. Pengaturan ini dibuat juga untuk menyelaraskan fungsi kejaksaan dengan instrumen internasional.
“Perubahan undang-undang ini dilakukan untuk memperkuat independensi dalam proses penuntutan serta memberikan perlindungan yang lebih baik kepada jaksa. Dalam menjalankan tugasnya, jaksa agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pengaturan ini merupakan hasil kesepakatan pembuat undang-undang. Oleh karena itu, presiden tidak akan mengangkat orang yang tidak professional dan kompeten di bidangnya untuk menduduki jabatan kejaksaan agung. Meski tidak ada mekanisme baku pengangkatannya, jaksa agung tidak terlepas dari pengawasan banyak pihak dalam menjalankan tugasnya. Salah satunya, pertanggungjawaban tugasnya dilakukan di hadapan presiden dan DPR RI dengan menerapkan prinsip akuntabilitas sehingga prinsip check and balances tetap terpenuhi,” jelas Arteria dalam sidang yang dihadirinya secara daring dengan dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta hakim konstitusi lainnya.
Batasan Kewenangan
Asep Kurnia selaku Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi dari Kementerian Hukum dan HAM RI menyampaikan keterangan Presiden/Pemerintah atas pengujian UU Kejaksaan. Menurut Pemerintah, ketentuan Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan merupakan ketentuan umum yang mengatur batasan definisi dan hal-hal lain yang bersifat umum, serta ketentuan yang mencerminkan asas dan maksud. Penuntut Umum adalah jaksa, namun jika Pemohon ingin menambahkan unsur jaksa agung untuk melakukan penuntutan dan penetapan hakim dan wewenang lainnya, maka sambung Asep, batasan pengertiannya menjadi berubah dan dapat pula mengubah norma lainnya.
Lebih jelas Asep mengatakan, sesuai dengan teknik pembuatan undang-undang, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan landasan hukum konstitusional yang termuat pada Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Sementara pada Pasal 19 ayat (2) UU Kejaksaan menyatakan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan Presiden merupakan pengaturan yang telah terukur yang telah disesuaikan dengan karakteristik lembaga dan kebutuhan hukum dalam fungsi lembaga tersebut. “Maka berdasarkan karakteristik penegakan hukum, pengangkatan jaksa agung cukup dilakukan presiden dengan persetujuan DPR RI dengan mengutamakan fungsi mekanisme check and balances,” jelas Asep.
Jabatan Politik
Sehubungan dengan keberadaan ketentuan atas Pasal 20 UU Kejaksaan, Asep menyebutkan, jaksa agung merupakan jabatan politik dalam rangka mengikuti perkembangan hukum dan masyarakat untuk mencapai tujuan negara. Dengan kata lain, ketentuan ini merupakan kebijakan hukum yang bersifat khusus dan sepanjang terukur bukan ketentuan yang diskriminatif sebagaimana disebutkan oleh Pemohon dalam permohonannya.
“Dalil tidak dilarangnya jaksa agung merangkap anggota partai politik, maka Pemerintah berpendapat hal ini harus disesuaikan dengan substansi yang diatur dalam penentuan larangan yang harus terukur. Dengan tidak adanya larangan jaksa agung dilarang tergabung dalam partai politik, karena hal ini belum berpotensi menggagalkan tugas jaksa agung dalam mencapai tujuannya (tugasnya),” sebut Asep.
Baca juga:
Calon Jaksa Minta MK Perbaiki Definisi Penuntut Umum dalam UU Kejaksaan
Calon Jaksa Pertegas Alasan Pengujian UU Kejaksaan
DPR dan Presiden Minta Sidang Uji UU Kejaksaan Ditunda
Pemerintah Menarik Keterangan Tertulis, Sidang Uji UU Kejaksaan Kembali Ditunda
Beda Penjelasan
Terhadap keterangan DPR dan Pemerintah, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh serta Wakil Ketua MK Saldi Isra memberikan tanggapan. Suhartoyo misalnya mempertegas kembali terdapat tiga klaster yang diungkap Pemohon dalam permohonan, yakni mengenai kewenangan jaksa agung tidak serta-merta berwenang sebagai penuntut umum; bagaimana check and balances DPR dalam pemberhentian jaksa agung; dan keberadaan Jaksa Agung yang merangkap anggota partai politik.
“Kewenangan jaksa atau jaksa agung sebagai Penuntut Umum memang ada perbedaannya. Jadi mohon jelaskan karena ada perbedaan yang jelas pada definisinya yang ada KUHAP dan UU Kejaksaan,” pinta Suhartoyo kepada para pihak pemberi keterangan.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra mempertanyakan keberadaan DPR dalam fungsi check and balances bagi jaksa agung dalam penegakan hukum. Sementara kepada Pemerintah, Saldi mempertanyakan mengenai keberadaan jaksa agung sebagai bagian dari anggota kabinet. “Bisa dieksplorasi Pemerintah terkait dengan apakah jaksa agung tetap akan menjadi bagian dari kabinet atau keluar dari sana karena posisi jaksa agung dalam sistem ketatanegaraan di negara kita,” sampai Saldi.
Sebelum mengakhiri persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyebutkan persidangan selanjutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 20 Juni 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan dari Kejaksaan Agung. Pada sidang terdahulu, Pemohon meminta agar Mahkamah memberikan tafsir konstitusional untuk memperbaiki definisi Penuntut Umum dalam Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan agar mencakup juga Jaksa Agung selain jaksa yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Sebab, bisa saja seorang Jaksa Agung merupakan pensiunan jaksa yang tidak lagi berstatus PNS. Dengan demikian, norma a quo nantinya diharapkan tidak lagi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan. Berikutnya, Pemohon juga memohonkan agar Mahkamah memberikan tafsir tentang pengangkatan Jaksa Agung yang tidak disertai oleh adanya fit and proper test di DPR RI yang menjadi bagian dari penerapan check and balances. Hal ini dapat berakibat pada gangguan independensi Kejaksaan Agung RI sebagai penegak hukum di Indonesia.
Menurut Pemohon, Pasal 20 UU Kejaksaan membuka ruang kesempatan dengan sangat mudah bagi seseorang yang tidak pernah mengalami berbagai hal dan tahapan proses sebagai jaksa untuk menjadi Jaksa Agung. Padahal, kisah Yovi, Pemohon sendiri telah bersusah payah merintis karir sebagai seorang Analis Penuntutan selama 1 – 2 tahun dan mengikuti program Pendidikan dan Pelatihan Pembentukan Jaksa (PPPJ) selama berbulan-bulan agar dapat diangkat sebagai seorang jaksa. Sehingga norma tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 1 angka 3, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 21 UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana