JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) pada Senin (12/6). Permohonan Perkara Nomor 56/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Berkarya. Adapun norma yang diujikan oleh Partai Berkarya (Pemohon) yaitu Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu.
Pasal 169 huruf n UU Pemilu mengatakan, “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah: n. belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;”
Pasal 227 huruf i UU Pemilu mengatakan, “Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut: i. surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;”
Dalam persidangan yang digelar secara luring, Erizal selaku kuasa Pemohon menjelaskan, Pemohon tidak tercantum dalam Surat Keputusan KPU Nomor 518 Tahun 2022 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu tertanggal 14 Desember 2022, sehingga Pemohon tidak termasuk partai politik peserta Pemilu 2024. “Meskipun Pemohon bukan sebagai partai politik peserta pemilu 2024, namun Pemohon berpendapat tetap memiliki legal standing,” kata Erizal di hadapan panel hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Menurutnya, Pemohon tetap memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan. Pemohon bersama dengan gabungan partai politik peserta Pemilu Tahun 2024 lainnya yang telah memenuhi persyaratan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, Pemohon sebagai partai politik non-parlemen, sebelumnya tidak ikut membahas UU 7/2017 sehingga sesuai putusan MK Nomor 35/PUU-XII/2014 Pemohon memiliki memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan ini. Oleh karena itu, pemohon menegaskan, ia berhak atas jaminan kepastian hukum yang adil dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan serta memiliki hak konstitusional untuk mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sebelum pelaksanaan pemilu.
Pemohon mendalilkan, norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu yang memuat kata “atau” berimplikasi pada baik calon Presiden dan calon Wakil Presiden dipersyaratkan “belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” atau “belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Sehingga terdapat konsekuensi logis atas frasa yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu adalah Presiden yang telah menjabat 2 (dua) kali tidak dapat dicalonkan kembali dalam jabatan yang berbeda sebagai calon Wakil Presiden dalam pemilu selanjutnya. Hal ini merugikan Pemohon bersama dengan gabungan partai politik peserta Pemilu Tahun 2024 lainnya untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama” serta tidak dimaknai “surat pernyataan calon Presiden belum pernah menjabat sebagai Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama atau surat pernyataan calon Wakil Presiden belum pernah menjabat sebagai Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Nasihat Panel Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan pada bagian legal standing, Prinsipal hanya mendapatkan 2% suara ketika Pemilu 2019. Sementara untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden itu 20% suara sah secara nasional.
“Kalau Prinsipal anda mendalilkan atau menjelaskan ada kerugian hak konstitusional baik potensial maupun aktual harus diuraikan dengan siapa partai-partai yang akan prinsipal ajak bergabung itu supaya terpenuhi 20% itu. Ini bagian untuk menjelaskan kedudukan hukum. Kemudian yang kedua juga, Presiden yang menjabat dua kali mencalonkan kembali, wakil presiden, itu presiden siapa itu, juga harus diuraikan dalam menjelaskan legal standing,” kata Suhartoyo.
Hal yang sama dikatakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Legal standing, kata Arief, merupakan pintu masuk sehingga ketika menyampaikan legal standing harus betul-betul dipahami kalau Pemohon adalah partai politik. “Coba dibaca putusan 50 tahun 2021 dan putusan 117 tahun 2022 serta putusan Nomor 4 tahun 2023,” saran Arief.
Sementara Wakil Ketua MK Saldi Isra meminta pemohon untuk menjelaskan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 PMK 2/2021. Saldi menyarankan Pemohon membaca beberapa putusan MK sebelumnya yang terkait norma yang diujikan Pemohon.
“Harus dibandingkan permohonan-permohonan sebelumnya yang memohonkan norma yang anda ujikan itu. Sudah ada beberapa putusan terkait itu. Sehingga nanti kalau anda lolos legal standing, maka saringan keduanya adalah ne bis in idem-nya. Kalau misalnya tidak ada alasan yang berbeda, dasar hukum yang berbeda, lalu kemudian alasan hukumnya berbeda juga tidak ada, maka itu tidak lolos. Jadi tugas saudara menjelaskan kepada kami apa perbedaan dasar pengujian ini dengan permohonan-permohonan sebelumnya,” terang Saldi.
Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. “Batas akhir penyerahan perbaikan paling lambat Senin 26 Juni 2023 pukul 13.30 WIB,” pungkas Saldi.
Baca juga:
Partai Berkarya Uji Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
MK Tolak Permohonan Partai Berkarya Ihwal Masa Jabatan Presiden
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.