JAKARTA, HUMAS MKRI - Aturan pelaksanaan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan sekaligus penyidikan termuat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Aturan ini merupakan aturan turunan bagi penyidikan yang dilakukan dengan ketentuan atau bersifat khusus, termasuk persoalan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Demikian keterangan yang disampaikan Feri Wibisono dari Kejaksaan Agung RI yang menjadi kuasa Presiden/Pemerintah dalam sidang lanjutan atas uji materi terhadap tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada Rabu (7/6/2023).
Terhadap permohonan Perkara Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini, Feri lebih jelas mengatakan, menyoal penyidikan terhadap persoalan korupsi ini, Kejaksaan juga diberikan kewenangan penyidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Aturan ini, sambung Feri, melekat pada kewenangan Kejaksaan dan berlaku dengan kekuatan mengikat.
Sehubungan dengan perkara yang dimohonkan Pemohon mengenai kewenangan Kejaksaan dalam penyidikan ini, juga diatur salah satunya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Bahkan perbandingan ketentuan ini, terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, utamanya Pasal 11 ayat (1) yang menyatakan “Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
“Maka Pemerintah berpandangan, kewenangan kejaksaan itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Jadi pengaturannya bersifat khusus. Hal itu sejalan dengan Putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007. Bahwa UUD 1945 tidak melarang fungsi ganda tersebut. Oleh karenanya, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sebab, memungkinkan bagi Kejaksaan untuk melakukan penyidikan melalui pengaturan setingkat undang-undang dan kewenangan itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945,” sebut Feri selaku Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Koordinasi Penanganan Penyidikan
Secara lebih jelas, Feri mengatakan ketentuan politik luar negeri menyatakan selain melakukan penuntutan Kejaksaan juga dapat melakukan penyidikan terhadap suatu kejahatan jika diizinkan undang-undang. Sementara dalam konteks perbandingan hukum, di Jerman, Prancis, dan Belanda juga mengatur penyidikan oleh jaksa. Intinya, tegas Feri, jaksa bertugas melakukan penyidikan dan berdasarkan hukum acaranya jaksa pun dapat menentukan dan melakukan penyidikan dalam ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk sebagai koordinator penyidikan.
Berikutnya sehubungan dengan dalil terhadap Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), apabila terdapat kesulitan dalam pembuktian suatu perkara maka Kejaksaan dapat membentuk tim gabungan. Secara norma, Jaksa Agung dapat menjadi koordinator dalam penanganan dan pengendalian penyidikan. Demikian pula dengan dalil terhadap Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), Feri menyatakan norma tersebut merupakan ketentuan yang bersifat koordinasi yang memuat kewajiban saling koordinasi untuk saling memberitahu tahapan penyidikan jika dilakukan secara bersama.
“Bahkan permasalahan pemberian kewenangan penyidikan ini telah menunjukkan efektivitas dan efisiensi dalam pencegahan korupsi, karena terdapat sistem pengawasan dari lembaga lain sebagaimana UU KPK tersebut. Tujuannya tidak lain untuk menyusun jaringan kerja yang kuat dan memperlakukan institusi (lain) sebagai partner sehingga pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan efektif dan efisien,” urai Feri dalam Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi Wakil Ketua MK Saldi Isra serta hakim konstitusi lainnya.
Praktik Umum dan Universal
Pada kesempatan ini, Reda Manthovani dan Narendra Jatna dari Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) selaku Pihak Terkait hadir pula memberikan keterangan. Ichsan Zikry selaku kuasa hukum PJI menjabarkan bahwa Kejaksaan memainkan peran vital dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari data pada 2022, Kejaksaan telah melakukan penyelidikan sebanyak 1.689 perkara, sementara KPK 120 perkara dan Kepolisian menyelesaikan 128 perkara. Berdasarkan fakta tersebut, jelas Ichsan, tanpa adanya peran Kejaksaan maka akan banyak kerugian negara yang tidak terselamatkan. Selain itu, Ichsan juga menyebutkan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tersebut sudah menjadi suatu praktik umum yang berlaku universal. Tak hanya di Indonesia, kewenangan ini juga dapat ditemukan di Eropa, Amerika Serikat, dan Asia (Jepang).
“Kewenangan penyidikan bukan hanya bersifat open legal policy, tetapi dilandaskan pada konstitusi dan ilmu administrasi negara. Dan bahkan berdasarkan tren global kewenangan multi agensi, dalam penyidikan tindak pidana mengarahkan pada memberikan kewenangan ini kepada berbagai institusi. Hal ini semata-mata untuk penegakan hukum. Sebab pada faktanya, penyidik Polri memiliki keterbatasan dalam pencegahan tindak kejahatan yang terjadi,” sebut Ichsan.
Hal senada tentang kewenangan penuntutan dan penyidikan oleh Kejaksaan ini juga disampaikan oleh Basuki dari Kejaksaan Agung RI yang bertindak sebagai Pihak Terkait. Kejaksaan Agung merupakan badan atau institusi yang menjalankan kekuasaan kehakiman, termasuk pula penyidikan dan penuntutan. Jaksa Agung dapat berperan aktif dalam proses penyidikan kejahatan dan UU Kejaksaan, UU Tipikor, dan UU KPK yang diujikan Pemohon merupakan suatu bentuk komitmen negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Sebab kejahatan ini tergolong kejahatan yang jadi musuh dunia, sehingga dibutuhkan pengaturan yang bersifat khusus,” jelas Basuki yang menghadiri persidangan secara luring dari Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.
Sebelum menutup persidangan, Anwar menyebutkan sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Rabu, 14 Juni 2023 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan yang dimaksud adalah mendengarkan keterangan dari Kepolisian RI dan KPK.
Baca juga:
Advokat Persoalkan Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Advokat Sempurnakan Permohonan Soal Kewenangan Penyidikan oleh Kejaksaan
Pandangan DPR Soal Kewenangan Kejaksaan Lakukan Penyidikan
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 28/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh seorang pengacara bernama M. Yasin Djamaludin. Pada Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar di MK pada Rabu (29/3/2023) lalu, Pemohon mendalilkan sejumlah pasal yang diujikan tersebut inkonstitusional dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower, karena Kejaksaan menjadi memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.
Sementara itu, pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. Karena, jelas Imelda, prapenuntutan atas penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dilakukan sekaligus oleh jaksa juga, sehingga tidak ada kontrol penyidikan yang dilakukan oleh jaksa dari lembaga lain. Karena tidak ada fungsi kontrol tersebut, jaksa sering mengabaikan permintaan hak-hak tersangka, seperti permintaan untuk dilakukan pemeriksaan saksi/ahli dari tersangka dengan tujuan membuat terang suatu perkara.
Dalam kasus konkret yang dialami Pemohon pada 21 Februari 2023, jaksa menyatakan berkas perkara belum lengkap dan akan dilakukan pemeriksaan lanjutan terhadap tersangka. Lalu pada 23 Februari 2023, jaksa selaku penyidik belum melakukan pemeriksaan lanjutan kepada tersangka, tetapi justru berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Jaksa Prapenuntutan dan langsung melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum. Selanjutnya, dalam proses penyidikan tersebut, tersangka telah meminta untuk dilakukan pemeriksaan terhadap saksi dan ahli agar perkara menjadi terang. Namun permintaan tersebut diabaikan oleh penyidik dan Jaksa Prapenuntutan.
Untuk itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.