JAKARTA, HUMAS MKRI - Asisten Ahli Hakim Konstitusi M. Luthfi Chakim menerima kunjungan dari Universitas Islam Negeri Salatiga Program Studi Hukum Keluarga Islam, pada Rabu (7/6/2023) di Aula Gedung I Mahkamah Konstitusi (MK). Tujuan para mahasiswa tersebut datang ke MK adalah untuk bersilahturahmi dan mempelajari seluk beluk MK baik visi, misi, kewenangan yang dimiliki, dan lain sebagainya.
Mengawali paparannya, Luthfi mengatakan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar pertama kali dilakukan oleh Hakim Agung John Marshal di Amerika Serikat. Saat itu, John Marshal menangani perkara antara William Marbury vs James Madison.
Pada prinsipnya, John Marshal ketika itu menyatakan, meskipun tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan kepada dirinya untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, namun dirinya terikat dengan sumpah jabatan sebagai hakim agung. Dalam salah satu sumpahnya, dia punya kewajiban untuk menegakkan konstitusi. Akhirnya, peristiwa ini kemudian menjadi peristiwa penting dalam pengembangan konsep judicial review di kemudian hari.
Selanjutnya, adalah Hans Kelsen, ilmuwan dari Austria yang mencetuskan judicial review dan menyatakan perlunya pengadilan khusus (baca: Mahkamah Konstitusi) yang berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang. Mengutip pandangan Hans Kelsen, Lutfi menjelaskan, pentingnya keberadaan mahkamah konstitusi adalah untuk menjaga peraturan perundangan-undangan agar tetap sesuai UUD atau konstitusi.
“Agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi,” ujarnya.
Model Pengujian Undang-Undang
Lutfi juga memaparkan model pengujian undang-undang secara umum, yakni model pengujian undang-undang secara desentralisasi dan model pengujian undang-undang secara sentralisasi. Model pengujian undang-undang secara desentralisasi dikenal juga dengan sebutan Model Amerika, yang menerapkan model ini antara lain Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Filipina. Pada model ini, fungsi Mahkamah Konstitusi dilaksanakan dalam satu badan yaitu Mahkamah Agung, tidak berdiri sendiri.
Sedangkan model pengujian undang-undang secara sentralisasi, keberadaan Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri dan terpisah dengan Mahkamah Agung. Model ini biasa disebut juga Kelsenian Model, diterapkan di Austria, Jerman, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Turki, termasuk Indonesia. Putusan dari model Mahkamah Konstitusi semacam ini bersifat erga omnes.
Kewenangan MKRI
Lebih lanjut, Lutfi menjelaskan secara gamblang mengenai kewenangan-kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, dalam hal ini MKRI. Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD, kemudian memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum maupun perbuatan tercela.
Lainnya, Lutfi menerangkan mengenai tahap-tahap persidangan di MKRI, mulai dari sidang pendahuluan dengan agenda pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan dalam sidang panel oleh tiga hakim konstitusi. Terhadap permohonan tersebut dalam jangka waktu paling lambat 14 hari MK memberi kesempatan untuk dilakukan perbaikan atau kelengkapan. Karena pada hakikatnya bukan sengketa kepentingan, maka undang-undang mewajibkan Mahkamah melalui hakim panel memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonannya. Setelah sidang pendahuluan, ada sidang perbaikan permohonan. Kemudian kalau permohonan berlanjut berdasarkan hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK, maka akan diteruskan menuju sidang pleno atau pembuktian dengan menghadirkan Pemerintah, DPR, ahli maupun saksi-saksi. Selanjutnya, permohonan Pemohon kembali dibahas dalam RPH, hingga akhirnya dilakukan sidang pengucapan putusan.
Dalam sesi tanya jawab, ada seorang mahasiswa menanyakan alasan mengapa hanya pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik. Menjawab pertanyaan tersebut, Lutfi mengatakan MK dapat menilai apakah memang benar partai politik ini secara kelembagaan. Parpol memiliki ideologi atau tujuan fungsi dan tugas. “Tentu MK yang dapat menilai permohonan pengujian pembubaran parpol. Namun sampai saat ini belum ada terkait dengan pengujian pembubaran parpol,” pungkasnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.