JAKARTA, HUMAS MKRI - Jika Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dapat memeriksa kembali keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), maka hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran). Sebab pemeriksaan dalam penegakan disiplin oleh MKDKI tersebut telah memenuhi prinsip kepastian hukum dan keadilan, serta putusannya yang bersifat final dan mengikat serta telah pula sesuai dengan UU Praktik Kedokteran dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 50 Tahun 2017. Sehingga, Keputusan MKDKI tidak dapat dilakukan keberatan kepada KKI. Demikian keterangan yang disampaikan oleh Sundoyo selaku staf ahli bidang hukum kesehatan dari Kementerian Kesehatan RI pada sidang lanjutan pengujian UU Praktik Kedokteran, pada Selasa (6/6/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Terkait perkara yang teregistrasi dengan Nomor 21/PUU-XXI/2023 yang mengujikan Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, Sundoyo menyatakan pasal tersebut tidak bisa berdiri sendiri, melainkan terkait dengan pasal-pasal sebelum dan setelahnya. Sebut saja, Pasal 64 huruf b dan Pasal 70 UU Praktik Kedokteran yang mengamanahkan pada MKDKI dan KKI untuk membuat aturan mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas MKDKI, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara pemeriksaan serta pemberian keputusan. Demikian pula dengan ketentuan Pasal 2 Perkonsil 50/2017 yang menyebutkan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi yang tidak kompeten.
Keputusan yang dikeluarkan MKDKI bersifat final dan berkekuatan hukum tetap, serta mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat, yakni Teradu, KKI, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terkait. Sifat demikian memiliki makna tidak ada upaya hukum atas Keputusan MKDKI. Dengan demikian, Keputusan MKDKI yang berisikan penjatuhan hukuman disiplin, khususnya berupa pencabutan STR terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan pelanggaran disiplin profesi harus dilaporkan kepada KKI untuk mendapatkan penetapan pelaksanaan atas sanksi disiplin tersebut.
“Keputusan MKDKI yang bersifat mengikat pada KKl, membuktikan independensi dalam penanganan disiplin profesi dokter dan dokter gigi sudah dijalankan oleh MKDKI. Walaupun MKDKI merupakan lembaga yang bertanggung jawab pada KKl, tetapi dalam melaksanakan tugasnya tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Hal ini membuktikan adanya kepastian hukum terhadap pelaksanaan sanksi yang dilakukan oleh MKDKI dan KKI demi perlindungan kepada masyarakat terhadap jasa pelayanan kesehatan oleh dokter dan dokter gigi,” jelas Sundoyo di hadapan Majelis Sidang Pleno yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Hierarki MKDKI dan KKI
Berikutnya, Ardiyanto Panggeso dari Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota Ikatan Dokter Indonesia (BHP2A IDI) Divisi Konsultasi Hukum dan Informasi Hukum selaku Pihak Terkait menyebutkan terkait dengan pemaknaan kata “mengikat” dalam Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang menyatakan “Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI” menjadi kurang sesuai dan tidak tepat, khususnya ketika dimaknai “Keputusan MKDKI mengikat KKI”. Sebab, dalam Pasal 55 ayat (2) UU Praktik Kedokteran menyatakan, MKDKI lembaga otonom dari KKI. Namun di dalam norma tersebut, tidak termuat penjelasan lanjut dari frasa “lembaga otonom” yang dimaksud.
Jika merujuk pada tulisan Jimly Asshiddiqie dalam buku “Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Ardiyanto mengatakan, pada intinya jika dikaitkan dengan kriteria hirarki antara KKI dan MKDKI dalam UU Praktik Kedokteran, maka struktur kedudukan KKI bertanggung jawab kepada Presiden, sementara MKDKI bertanggung jawab kepada KKI. Dengan kata lain, MKDKI bagian dari KKI, namun bukan sebaliknya.
“Karena itu, dari segi kriteria hierarki, maka kedudukan KKI lebih tinggi dari pada kedudukan MKDKI dalam struktur kekuasaan negara. Namun apabila menelisik ‘kualitas fungsi’ antara KKI dan MKDKI dalam UU Praktik Kedokteran maka fungsi KKI berupa fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis, sednagkan fungsi MKDKI tidak pernah disebut jelas dengan kata ‘fungsi’ tetapi dapat dimaknai ‘fungsi’ MKDKI terkait tujuan pembentukan MKDKI menegakkan disiplin dokter. Sehingga dari fungsi-fungsi tersebut, kualitas fungsi KKI bersifat utama dan kualitas fungsi MKDKI bersifat penunjang dalam sistem kekuasaan negara,” urai Ardiyanto.
Proses Putusan MKDKI
Sementara itu, Prasetyo Edi selaku Ketua MKDKI menyebutkan mengenai pedoman yang digunakan MKDKI, yakni Peraturan KKI Nomor 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi. Di dalamnya termuat 28 jenis pelanggaran disiplin profesional dokter dan dokter gigi yang tidak boleh dilanggar dalam menjalankan praktik kedokteran. Terkait dengan proses pemeriksaan pengaduan di MKDKI berpedoman pada UU Praktik Kedokteran dan Peraturan KKI Nomor 50 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan Dokter Gigi.
Pada intinya, sambung Prasetyo, MKDKI menerima pengaduan dari orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran. Kemudian MKDKI berdasarkan UU Praktik Kedokteran, bukan lembaga yang bertugas untuk melakukan mediasi, rekonsiliasi dan atau perdamaian. Sehingga keputusan dari MKDKI tidak dapat selalu memuaskan seluruh pihak, karena selalu ada pihak yang akan merasa dirugikan atas keputusan MKDKI.
“Terhadap keinginan para Pemohon untuk menerapkan prinsip due process of law, terbuka untuk umum, sangat disambut baik oleh MKDKI. Namun dalam proses pemeriksaan MKDKI ada rahasia kedokteran yang merupakan hak pasien untuk dijaga rahasianya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, MKDKI tidak dapat menjalankan proses penegakan disiplin melalui persidangan terbuka untuk umum dan sidang terbuka untuk umum hanya yang dapat dilakukan MKDKI pada saat sidang pembacaan putusan,” terang Prasetyo.
Keputusan dan Penetapan
Selanjutnya, Pattiselanno Roberth Johan selaku Ketua Konsul Kedokteran Indonesia (KKI) menerangkan tentang keinginan para Pemohon untuk menerapkan prinsip due process of law pada proses penegakan disiplin oleh MKDKI tidak dapat diterima. Karena MKDKI merupakan lembaga penegakan disiplin dokter dan dokter gigi dan bukan lembaga penegakan hukum yang proses pemeriksaannya berjenjang.
“Sehingga Keputusan MKDKI tidak dapat dilakukan keberatan kepada KKI. Namun demikian, dokter atau dokter gigi dapat mengajukan tanggapan akhir sebelum sidang Pemeriksaan Teradu ditutup dan dapat pula melampirkan dokumen pendukung pada saat penyerahan Tanggapan Akhir,” sebut Pattiselanno.
Sebelum menutup persidangan, Anwar mengatakan sidang selanjutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 13 Juni 2023 pukul 11.00 WIB. Adapun agenda persidangan tersebut berupa mendengarkan keterangan dari dua ahli dan satu saksi dari Pemohon. Untuk itu, keterangan tertulis dari pemberi keterangan dapat diserahkan sebelum dilakukannya persidangan yang dimaksud.
Baca juga:
Menguji Konstitusionalitas Aturan Proses Pemeriksaan MKDKI
Pemohon Uji Materiil Aturan Ketentuan Pemeriksaan MKDKI Bertambah
MKDKI dan KKI Memiliki Independensi Masing-Masing
Untuk diketahui, para Pemohon, yakni Gede Eka Rusdi Antara (Pemohon I), Made Adhi Keswara (Pemohon II), dan I Gede Sutawan (Pemohon III) merupakan Dokter Spesialis Bedah. Pemohon mendalilkan pasal yang diuji adalah Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran terutama terhadap frasa “Mengikat dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dinilai bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G UUD 1945. Pemohon I dalam menjalankan praktik kedokteran memiliki persoalan yakni dilaporkan MK DKI berdasarkan pengaduan Nomor 7 Tahun 2022. Padahal dalam melaksanakan praktik kedokteran operasi terhadap pasien, Pemohon I dan Pemohon II telah menjalankan praktik berdasarkan disiplin keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam menjalankan pemeriksaan di MKDKI, Pemohon I dan Pemohon II mendapatkan proses yang tidak transparan dan tidak berkeadilan serta tidak terdapat pelanggaran atas hak-hak yang dijamin oleh konstitusi yang kerap terjadi selama proses MKDKI. Adapun pelanggaran-pelanggaran atas hak Pemohon I dan Pemohon II dalam memeriksa teradu MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin disebut MPD yang di dalamnya terdapat unsur Sarjana Hukum, padahal fungsi MPD adalah untuk memeriksa adanya pelanggaran disiplin bagi dokter saat menjalankan praktek kedokteran. Selanjutnya, Pemohon I dan Pemohon II didampingi oleh kuasa teradu, namun kuasa pihak teradu tidak dapat melakukan pembelaan ataupun memberikan keterangan menurut kuasa teradu perlu diberikan dalam rangka membela hak teradu sebagai pemberi kuasa atau hanya mencatat saja.
Singkatnya, saksi dan ahli yang dihadirkan oleh Pemohon diperiksa oleh MPD tanpa dihadiri oleh yang bersangkutan, ia tidak mengetahui pertanyaan yang diajukan oleh MPD. Atas hal ini, Pemohon meminta UU Praktik Kedokteran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1) UUD 1945 sepanjang frasa “Mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” tidak dimaknai bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata atau pidana. Selain itu, para Pemohon juga menilai pasal yang diujikan telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil karena mendudukkan KKI sebagai lembaga yang berada di bawah MKDKI karena keputusan MKDKI yang langsung mengikat KKI dalam membuat KKI bagi teradu. Padahal putusan MPD yang memberikan sanksi dituangkan dalam keputusan MKDKI pasal 69 ayat (3) adalah rekomendasi. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana