JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman menghadiri Simposium Internasional The Asian Association of Constitutional Courts and Equivalent Institutions yang diselenggarakan oleh MK Mongolia, pada Senin (5/6/2023). Ketua MKRI Anwar Usman hadir secara daring dengan didampingi Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan dan pegawai MK lainnya di Gedung I MK.
Dalam kesempatan itu, Anwar menyampaikan paparan mengenai “Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Pengujian Undang-Undang”. Ia mengatakan kewenangan pengujian undang-undang bagi MK Indonesia, merupakan bisnis inti atau kewenangan utama di antara kewenangan MK lainnya. Karena secara historis, lahirnya MK yang memiliki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD 1945, merupakan kewenangan penyeimbang (check and balances) terhadap kewenangan lainnya yang dimiliki oleh lembaga eksekutif maupun legislatif.
“Jika lembaga eksekutif dan legislatif memiliki kewenangan secara positif untuk membentuk undang-undang, maka MK memiliki kewenangan secara negatif, untuk membatalkannya. Paradigma keseimbangan antara lembaga negara ini, berangkat dari pemikiran tentang perlunya keseimbangan antara sistem demokrasi yang mengedepankan kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan norma yang telah menjadi konsensus bernegara,” ujar Anwar secara daring di hadapan 38 peserta dari berbagai negara.
Menurut Anwar, hal ini didasari dari latar belakang pemikiran yang bersifat faktual bahwa, fitrah dari kekuasaan yang lahir dari sistem demokrasi bersifat mayoritarian dan memiliki kecenderungan menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya. Akibat dari kedudukannya yang bersifat mayoritas tersebut, maka kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif dalam membentuk suatu undang-undang, diatur secara ketat, baik secara formil maupun materiil. Aturan secara formil menentukan bahwa suatu UU harus dibentuk sesuai dengan proses pembentukannya. Sedangkan dari aspek materiil, substansi atau materi muatan suatu UU, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi sebagai peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pengujian UU terhadap UUD di MK, dapat menyangkut dua aspek tersebut, yakni pengujian yang bersifat formil maupun materiil.
“Sebagai contoh perlindungan Hak Asasi Manusia atau Hak Konstitusional Warga Negara melalui mekanisme PUU adalah perlindungan hak konstituional warga negara dalam bidang pendidikan. Secara eksplisit bahwa UUD 1945 telah mengamanatkan agar anggaran pendidikan nasional telah ditetap secara eksplisit sejumlah seperlima (20%) dari total anggaran pendapatan belanja negara (APBN dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD). Ketentuan pengaturan anggaran pendidikan di dalam konstitusi tersebut, merupakan perubahan konstitusi yang dilakukan pasca reformasi 1998,” terang Anwar.
Anwar menegaskan, meskipun secara normatif perubahan UUD 1945 pada tahun 2002 telah menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengalokasikan anggaran pendidikan 20% dari total anggaran pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bukan berarti persoalan tersebut dapat dilaksanakan secara serta-merta. Pada faktanya, lanjut Anwar, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya dalam penjelasan Pasal 49, justru membuka ruang reservasi bahwa pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Hingga pada akhirnya, penjelasan pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 melalui Pengujian Undang-Undang di MK dalam Perkara Nomor 011/PUU-III/2005.
Anwar menegaskan, MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa UUD 1945 secara expressis verbis telah menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% dalam APBN dan APBD, sehingga tidak boleh direduksi oleh peraturan perundang-undangan di bawahnya. Selain itu, kedudukan Penjelasan Pasal 49 UU tentang Sistem Pendidikan, tidak bersifat eksplanatoris, melainkan merupakan suatu norma baru, sehingga telah mengaburkan norma pokoknya. Untuk itu, penjelasan norma Pasal 49 harus dibatalkan. Setelah Putusan MK tersebut dikeluarkan, Pemerintah pada akhirnya menganggarkan anggaran pendidikan 20% sebagaimana telah ditetapkan secara jelas dalam Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.
Dalam konteks perlindungan HAM bagi masyarakat adat, Anwar melanjutkan, MK melalui Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh beberapa asosiasi pengurus masyarakat hukum adat menguji norma Pasal 1 angka 6 yang berbunyi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
Dikatakan Anwar, norma demikian menurut argumentasi Pemohon merupakan bentuk pengingkaran terhadap keberadaan hutan adat yang telah menjadi tempat tinggal masyarakat hukum adat secara turun temurun. Karena dengan definisi norma tersebut, maka hutan adat bukan merupakan hak/milik dari masyarakat hukum adat, melainkan merupakan hutan negara yang sewaktu-waktu bisa saja negara memanfaatkannya tanpa memerlukan persetujuan/izin dari masyarakat hukum adat yang telah secara turun temurun bertempat tinggal di dalam wilayah hutan tersebut. Padahal hutan adat seharusnya didefinisikan sebagai tanah dengan hak ulayat yang menjadi hak bagi masyarakat hukum adat (MHA).
Atas permohonan ini, MK berpendapat bahwa UU Kehutanan telah memperlakukan MHA berbeda dengan subjek hukum yang lain. Dalam konteks ini, subjek hukum yang dimaksud adalah negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Dengan adanya perlakuan berbeda tersebut, MHA secara potensial dan faktual kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga dengan keberlakuan norma a quo, MHA mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya.
Dengan demikian terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hutan adat berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah MHA yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer). Kesatuan MHA mempunyai hak membuka hutan ulayatnya untuk dikuasai dan diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Dengan demikian, tidak dimungkinkan hak yang dipunyai oleh warga MHA, ditiadakan sepanjang memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
Kegiatan simposium internasional tersebut diselenggarakan dalam dua sesi yang terdiri dari sepuluh pembicara. Para pembicara tersebut, yakni Ketua MK Anwar Usman, Ketua MK Kazakhstan Elvira Azimova, Hakim MK Rusia Andrey Bushev, Hakim MK Korsel Kim Kiyoung, Hakim MK Kyrgyzstan Chinara Aidarbekova, Anggota Tribunal Konstitusi Myanmar Marlar Aung, serta Hakim MA Pakistan Muhammad Ali Mazhar. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.