INILAH.COM, Jakarta â Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) merekomendasikan kepada Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama untuk membubarkan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Keputusan tersebut diambil dari hasil pemantauan yang dilakukan Bakor Pakem terhadap Ahmadiyah dalam waktu tiga bulan.
Intinya, JAI dinyatakan menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam yang dianut Indonesia. Ini karena JAI mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan menggunakan tadzkirah sebagai kitab suci menggantikan Al Quran.
Berkaitan dengan rekomendasi itu, Ketua PP Muhammadiyah Prof Din Syamsudin menegaskan, tidak ada hak pemerintah untuk membubarkan sebuah faham keagaman.
"Pemerintah hanya mempunyai kewenangan mengatur aspek sosial, bukan teologis," tegas gurubesar ilmu politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana respon Anda terhadap ksus Ahmadiyah?
Jamaah Ahmadiyah itu adalah saudara-daudara kita yang sebenarnya sudah berada di âpekarangan rumahâ Islam. Sebaiknya, jangan desak mereka keluar pagar, tapi ajak mereka masuk ke rumah dengan cara-cara damai, karena itulah prinsipi-prinsip Islam.
Daripada kita berdakwah ke kalangan yang belum Islam, belum meyakini kesesaan Allah dan kerasulan Muhammad SAW, lebih bagus mengajak kalangan Ahmadiyah yang sudah jelas meyakini Allah dan kerasulan Muhammad. Cuma memang ada keyakinan tambahan bahwa pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, adalah nabi. Ini yang keliru dan harus kita luruskan.
Bagaimana dengan keputusan Bakor Pakem?
Seperti saya katakan, pemerintah hanya mempunyai kewenangan mengatur aspek sosial, bukan aspek teologis. Jadi negara tidak punya hak membubarkan sebuah paham keagamaan, keyakinan keagamaan itu dianut oleh individu. Tapi kalau sudah menjadi kelompok atau organisasi, itu bisa menimbulkan keresahan sosial. Pemerintah masuk pada tataran ini saja, yaitu mengatur dimensi sosial dari hubungan antarumat beragama.
Pemerintah punya kewenangan untuk mengambil keputusan, bukan pada keyakinan agama. Itu tidak boleh. Pemerintah tidak boleh mengintervensi keyakinan keagamaan seseorang, karena masalah itu dijamin oleh HAM. Tetapi yang bisa dilakukan pemerintah adalah melihat kelompok atau organisasi yang menimbulkan keresahan sosial. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menertibkan suasana sosial. Bukan membungkam dan membunuh paham keagamaan. Jadi jangan salah aksi.
Jadi, bagaimana harusnya pemerintah menyelesaikan persoalan Ahmadiyah?
Kalau saya pribadi lebih cenderung menggelar dialog secara persuasif. Ini yang belum kita lakukan. Ormas-ormas Islam belum melakukan dakwah, secara luas melakukan dialog dengan Ahmadiyah. Ormas Islam hanya perang kata-kata di media masa saja.
Yakinkan kawan Ahmadiyah, kenapa tidak kembali ke ajaran Islam yang bagus. Kami juga bersahabat, kalau bersahabat, tidak usah ditambah embel-embel bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi baru. Itu saja, saya kira persoalan selesai. Jangan lakukan langkah-langkah kekerasan, karena itu juga akan merusak citra Islam dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Siapa yang bisa menggelar dialog itu?
Bisa pemerintah, tapi sebaiknya mediator saja. Muhammdiyah juga siap saling berdialog. Kalau Anda mengakui syahadat, kenapa ditambah-tambah Mirza Ghulam Ahmad? Tidak usahlah ditambah-tambah Mirza Ghulam Ahmad.
Bukankah dialog sudah dilakukan?
Belum, itu baru tim kecil dari Departemen Agama. Ada wacana jamaah Ahmadiyah mau minta suaka politik, karena tekanan di dalam negeri. Boleh jadi demikian.
Kalau saya, mari kita buka pintu dialog lagi, kemudian kita yakinkan. Kalau Muhammadiyah berpendapat, kalau ada yang meyakini nabi baru setelah Muhammad, maka mereka itu kafir, siapa saja. Tapi untuk menegaskan bahwa ini adalah kebenaran, Muhammadiyah mengedepankan dialog.
Jadi tidak setuju dengan permintaan suaka oleh Ahmadiyah?
Ya, saya kira jangan sampai begitu juga. Kita ajak mereka untuk masuk ke rumah Islam dengan pintu damai. [R FERDIAN ANDI R]
Sumber www.inilah.com
Foto www.inilah.com