JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Pasal 48 angka 1, angka 19, angka 20 dan angka 32 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pada Rabu (17/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara Nomor 49/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Indonesia Halal Watch yang dalam hal ini diwakili oleh Joni Arman Hamid selaku Ketua dan Raihani Keumala selaku Sekretaris.
Dalam sidang kedua ini yang digelar secara luring, Syaiful Anwar selaku kuasa pemohon menyampaikan perbaikan permohonan. “Perbaikan permohonan pengujian materiil bab III bagian keempat paragraf kedelapan Pasal 48 angka 1 Pasal 1 butir 10 sepanjang frasa atau komite fatwa produk halal,” ujarnya.
Kemudian ia mengatakan, di dalam perbaikan ini terdapat penambahan bukti. “Bukti P6 yang kami ajukan itu adalah merupakan bukti penyempurnaan dari P6 yang kami ajukan dulu. P6 yang lama diganti P6 yang baru. Kami juga mencantumkan di halaman 11 Pasal 6 tujuan lembaga advokasi halal Indonesia Halal Watch,” terang Anwar.
Baca juga:
Uji Konstitusionalitas Dua Lembaga Sertifikasi Halal
Sebagai tambahan informasi, aturan mengenai pembentukan Komite Fatwa Produk Halal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetepan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Indonesia Halal Watch tercatat sebagai Pemohon Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 49/PUU-XXI/2023.
Dalam sidang pemeriksaan yang digelar di MK pada Rabu (17/5/2023), Pemohon mendalilkan Pasal 48 angka 1, Pasal 48 angka 19, Pasal 48 angka 20 dan Pasal 48 angka 32 UU Cipta Kerja telah mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Pasal-pasal dalam UU JPH yang diubah, yakni Pasal 1 angka 1 butir 10, Pasal 33A ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33B ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 63C ayat (1) dan ayat (2). Diwakili Syaeful Anwar sebagai kuasa hukum, Pemohon menilai pengubahan pasal-pasal dalam UU JPH yang diejawantahkan dalam UU Cipta Kerja melanggar hak konstitusional Pemohon.
Pemohon menilai keberadaan Pasal 48 angka 1, Pasal 48 angka 19, Pasal 48 angka 20 dan Pasal 48 angka 32 UU Cipta Kerja menciptakan dualisme lembaga sertifikasi halal. Semula lembaga yang berhak menerbitkan sertifikasi halal hanya dipegang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana diatur dalam UU JPH. Akan tetapi, dengan adanya pasal-pasal yang diuji, muncul lembaga lain yang dapat menerbitkan sertifikasi halal, yakni Komite Fatwa Produk Halal di bawah kewenangan Kementerian Agama.
“Dari sini kemudian terdapat dualisme yang sangat merugikan Pemohon. Komite Fatwa Halal ini menimbulkan tidak adanya kepastian hukum termasuk di dalamnya fatwa halal yang dibentuk atau diterbitkan oleh Komite Fatwa Halal sebagaimana undang-undang Ciptaker. Tidak ada kepastian hukum karena produk yang diterbitkan oleh Komite Fatwa Halal berada di bawah Kementerian Agama,” terang Anwar.
Menurut Pemohon, fatwa halal yang diterbitkan oleh MUI bersifat final, karena penerbitan fatwa halal merupakan kewenangan dari lembaga keagamaan, yaitu MUI. Sedangkan Komite Fatwa Produk Halal yang dibentuk oleh Pemerintah dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menteri, in casu Kementerian Agama Republik Indonesia. Hal ini berakibat penerbitan sertifikasi halalnya masuk dalam kualifikasi objek TUN. Anwar menambahkan hal tersebut justru akan menjadi “masalah” jika perkara mengenai sertifikasi halal diperiksa oleh PTUN karena hakim PTUN tidak familiar dengan terminologi usul fikih, Al Qur’an dan hadits Nabi yang merupakan batu uji halal atau haram suatu produk.
Secara normatif maupun data sebagaimana tersebut di atas, sambung Anwar, berkaitan dengan UU JPH, tidak ditemukan adanya “keadaan atau kegentingan yang memaksa di bidang serfikasi halal”. Dengan demikian, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan perubahan norma sebagaimana tersebut di atas seluruhnya bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.