JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan terhadap Pasal 96 ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) pada Senin (29/5/2023). Permohonan perkara Nomor 44/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh dua orang mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Internasional Batam (UIB) yaitu Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Andrew Chua. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dengan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Sebagaimana jadwal yang terpampang di laman MK, agenda persidangan kedua ini yakni pemeriksaan perbaikan permohonan. Namun MK menerima surat dari para Pemohon. Surat tersebut pada intinya mengenai pencabutan permohonan uji materil UU P3.
Panel hakim pun mengklarifikasi ihwal pencabutan permohonan kepada Risky Kurniawan selaku kuasa para Pemohon yang menghadiri persidangan secara daring. “Jadi, forum ini untuk klarifikasi atas surat yang disampaikan oleh para Pemohon, maka pihak Pemohon nanti menunggu saja karena hal ini akan dilaporkan pada Rapat Permusyawaratan Hakim. Sehingga sidang hari ini tidak lagi berkaitan dengan agenda perbaikan permohonan,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Baca juga:
Pentingnya Partisipasi Rakyat dalam Pembentukan Undang-Undang
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 44/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diajukan oleh dua orang Mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Internasional Batam (UIB), Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Andrew Chua. Para Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas aturan mengenai pilihan kegiatan konsultasi publik dalam pembentukan undang-undang yang tertuang dalam Pasal 96 ayat (6) UU P3.
Pasal 96 ayat (6) UU P3 menyatakan, “Untuk memenuhi hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembentuk Peraturan Perundang-undangan dapat melakukan kegiatan konsultasi publik melalui (a) rapat dengar pendapat umum; (b) kunjungan kerja; (c) seminar, lokakarya, diskusi; dan/ atau (d) kegiatan konsultasi publik lainnya”.
Risky Kurniawan selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Kamis (11/5/2023) mengatakan para Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 96 ayat (6) UU P3. Menurut para Pemohon Pasal 96 ayat (6) terutama kata “dapat” tidak menempatkan pemenuhan kewajiban sebagai kewajiban melainkan sebagai opsional. Oleh karena itu, agar pemenuhan kewajiban untuk menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat benar-benar tercapai, maka menurut para Pemohon kata “dapat” diganti dengan kata “wajib”. Secara lebih konkret para Pemohon menganalogikan dengan keberadaan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat karena cacat formil akibat kurangnya partisipasi masyarakat.
“Maka pada kesimpulannya frasa ‘wajib’ lebih efektif digunakan dalam Pasal 96 ayat (6) UU P3. Sebab partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sangat berkaitan dengan nilai demokrasi. Oleh karenanya, partisipasi rakyat harus dikerahkan secara penuh sebagaimana termuat dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945,” sebut Risky yang hadir langsung di Ruang Sidang Pleno MK.
Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 96 ayat (6) UU P3 adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang frasa “dapat” diubah dengan frasa “wajib”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.