JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan (UU Perkebunan) pada Senin (29/5/2023). Permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) (Pemohon I), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Karya Mandiri (Pemohon II), Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu (Pemohon III), dan Koperasi Produsen Perkebunan Harapan Baru Ratu (Pemohon IV), ini mendalilkan Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Sidang Perkara Nomor 45/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua Panel Hakim Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Markus Manumpak Sagala selaku kuasa hukum para Pemohon menyebutkan, hal-hal yang dalam perbaikan pada permohonan, di antaranya penyempurnaan bagian kewenangan MK dalam menguji pasal a quo, penegasan kedudukan para Pemohon yang telah disesuaikan dengan akta pendirian badan hukum yang diwakilinya.
“Untuk itu, Pemohon menilai Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara limitatif atau prioritas,” sebut Markus dalam sidang yang dihadirinya secara luring dari Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga: Sejumlah Koperasi Persoalkan Pengelolaan Dana Usaha Perkebunan
Dalam Sidang Pendahuluan yang digelar pada Senin (15/5/2023), para Pemohon mengatakan salah satu sumber pembiayaan usaha perkebunan berasal dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan, ketentuan Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan memiliki makna yang limitatif mengenai peruntukan dan penggunaan dana yang dihimpun dari pelaku usaha. Pengaturan alokasi penggunaan penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan dana untuk kebutuhan masyarakat, sehingga diatur secara limitatif. Dengan demikian tujuan UU Perkebunan dapat tercapai sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Perkebunan. Sementara itu, terkait alur peruntukkan ataupun penggunaan penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 93 ayat (4) UU Perkebunan, sambung Markus, telah diejawantahkan dalam ketentuan lanjutan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Perkebunan.
Para Pemohon menyebutkan dari implementasi Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan yang tidak dimaknai secara limitatif berakibat alokasi dana dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan tidak mencapai tujuannya secara optimal, bahkan jauh dari tujuan yang hendak dicapai dalam undang-undang. Sebab dana tersebut diperuntukkan juga bagi penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Oleh karena itu, norma tersebut jelas-jelas merugikan para Pemohon karena tidak mendapatkan hak-haknya secara optimal. Sejatinya, para Pemohon tidak menolak program biodiesel yang menjadi program pemerintah, namun selayaknya pemerintah tidak mengambil alokasi dana dalam pasal tersebut untuk pembiayaan industri biodiesel. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim