SURABAYA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan pemaparan materi dalam Closing Ceremony Airlangga Law Competition (ALC) IV 2023, pada Minggu (28/5/2023) di Graha BIK Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. Wahiduddin yang hadir secara langsung menerangkan materi dengan tema “Urgensi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Constitutional Preview sebagai modernisasi hukum Indonesia”.
“Tema tersebut tentunya terpusat pada konsep “constitutional preview”. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka pembahasan yang akan saya uraikan akan saya bagi menjadi 2 bagian. Pertama, saya akan menjelaskan, sekaligus mengkritisi mengenai penggunaan istilah “constitutional preview”. Kedua, kita akan mendiskusikan mengenai kompatibilitas atau kemungkinan-kemungkinan untuk mengadopsi kewenangan yang dimaksud sebagai bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi,” kata Wahiduddin.
Lebih lanjut Wahiduddin menjelaskan, istilah “constitutional preview” yang dipopulerkan oleh Jimly Asshiddiqie. Dalam buku “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang” Jimly membedakan istilah antara “review” dengan “preview”. Yang mana “Review” ditujukan untuk pengujian atas suatu peraturan perundang-undangan yang telah disahkan dan diundangkan sehingga berlaku dan mengikat secara umum. Sementara, “preview” adalah untuk mekanisme pengujian atas suatu peraturan perundang-undangan yang masih berupa “rancangan” dan belum disahkan atau diundangkan.
Untuk mendukung argumentasi pembedaan antara “review” dengan “preview”, Prof. Jimly kemudian mencontohkan mekanisme pengujian di Perancis yang melakukan pengujian peraturan sebelum disahkan. Mekanisme pengujian di Perancis inilah yang dimaksud oleh Jimly sebagai “preview”.
“Berangkat dari pembedaan istilah “review” dan “preview” yang diutarakan oleh Prof. Jimly, kemudian para akademisi di Indonesia lazim menggunakannya dalam tulisan-tulisan di publikasi ilmiah, termasuk dalam penulisan skripsi maupun tesis. Sayangnya, penggunaan istilah ini tidak diikuti oleh pemikiran kritis dengan mencoba mempertanyakan kebenarannya. Meskipun yang mempopulerkan seorang guru besar belum tentu juga pendapatnya itu harus diterima mentah-mentah,” tegasnya.
Lebih lanjut Wahiduddin menyebut, dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh akademisi pengguna Bahasa Inggris, mekanisme pengujian konstitusional tetap mempertahankan istilah “constitutional review”. Untuk membedakan antara pengujian konstitusional yang dilakukan sebelum dengan sesudah peraturan perundang-undangan itu disahkan maka digunakan istilah “a priori” dan “a posteriori”.
Istilah “a priori constitutional review” adalah untuk pengujian konstitusional yang dilakukan sebelum peraturan itu disahkan sebagaimana mekanisme pengujian konstitusional yang diadopsi di Perancis. Sedangkan “a posteriori constitutional review” adalah untuk pengujian konstitusional yang dilakukan setelah peraturan perundang-undangan itu disahkan seperti yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Dalam sistem hukum common law, sambung Wahiduddin, konsep judicial review dipahami sebagai “uji materiil” yang menguji materi muatan peraturan perundang-undangan. Konsep “uji formil” menjadi tidak lazim sebab melanggar konsep pemisahan kekuasaan (separation of power). Proses pembentukan peraturan merupakan wilayah lembaga legislatif. Bilamana pengadilan diberi kewenangan “uji formil” maka sama halnya pengadilan campur tangan dalam menilai kinerja dari lembaga legislatif.
Akan tetapi, bukan berarti bahwa para akademisi pengguna Bahasa Inggris tidak mencoba mendalami mengenai “uji formil”. Wacana mengenai “uji formil” juga menarik bagi para akademisi berbahasa inggris. Hanya dalam penggunaan istilahnya, “formal review” tidak bisa dipadankan dengan pengertian “uji formil”. Artikel dalam Bahasa Inggris umumnya menggunakan istilah “judicial review of legislative process” atau “due process of lawmaking” sebagai padanan dari istilah “uji formil”.
Menurut Wahiduddin, Indonesia tidak mengadopsi mekanisme pengujian konstitusional secara a priori. Yang menjadi kewenangan bagi MK adalah menguji UU terhadap UUD. Artinya, pengujian konstitusional dilakukan secara a posteriori, yaitu bila sebuah rancangan UU telah disahkan menjadi UU maka menjadi wilayah kewenangan MK untuk menguji konstitusionalitasnya, baik dalam proses pembentukannya maupun dalam hal materi muatannya.
Secara kelembagaan, sambung Wahiduddin, terdapat perbedaan mendasar antara pengadilan atau Mahkamah dengan Dewan. Sehingga, perbandingan mekanisme pengujian konstitusional antara Perancis dengan Indonesia pun tidak bisa diperlakukan secara sama dan sebangun.
Selain itu, bila menelisik pada sisi urgensinya maka harus juga dipertimbangkan secara kritis apakah kita memiliki kebutuhan mendesak untuk mengadopsi kewenangan pengujian konstitusional secara a priori. Kerumitan secara praktis yang potensial akan muncul adalah bahwa pengadilan akan terlibat dalam proses politik praktis sebagai upaya pengambilan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Padahal, karakteristik lembaga peradilan haruslah netral dan imparsial.
Namun, bukan berarti bahwa pengujian konstitusional secara a priori tidak mungkin diadopsi. Dari sudut pandang perbandingan, ada beberapa negara dimana Mahkamah Konstitusi-nya diberi kewenangan untuk melakukan pengujian secara a priori.
Batasannya adalah pengujian konstitusional tidak dilakukan untuk semua produk legislasi. Setidaknya, ada tiga produk legislasi yang bisa menjadi objek pengujian sebelum rancangan ini disahkan sebagai hukum yang berlaku mengikat umum, yaitu (1) ratifikasi perjanjian atau konvensi internasional; (2) hasil referendum; dan (3) revisi undang-undang dasar.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.