JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan pemaknaan baru mengenai aturan pengajuan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PHPilpres) dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Atas ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) UU MK yang menyatakan, “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional” dimaknai menjadi “Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional.”
Hal ini tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 31/PUU-XXI/2023 yang dibacakan Wakil Ketua MK Saldi Isra pada Kamis (25/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Saldi melanjutkan bahwa pemaknaan baru tersebut diselaraskan dengan ketentuan Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu yang menyatakan, “Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh Komisi Pemilihan Umum.” Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana ditentukan UUD 1945 dan keuntungan bagi pasangan calon yang akan mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah.
Dengan memaknai kata “sejak” menjadi “setelah” dan frasa “3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam” menjadi “3 (tiga) hari”, pemohon (peserta pemilihan) dalam pengajuan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki kelonggaran waktu dalam mengajukan sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal ini, pilihan untuk menggunakan kata “setelah” dan tidak mengabulkan pilihan 7 (tujuh) hari, tidak terlepas dari prinsip proses peradilan cepat dalam penyelesaian sengketa hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam desain kewenangan Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
Oleh karena jangka waktu yang dimohonkan Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan jangka waktu yang dikabulkan Mahkamah, Saldi melanjutkan maka dalil Pemohon perihal jangka waktu untuk mengajukan permohonan perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, seperti dimaksud dalam norma Pasal 74 ayat (3) UU MK bertentangan dengan UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan frasa ‘3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak’ dalam Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘3 (tiga) hari setelah’, sehingga ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, selengkapnya menjadi ‘Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah Komisi Pemilihan Umum mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional’,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan dari permohonan yang dimohonkan oleh Herifuddin Daulay yang berprofesi tersebut.
Baca juga:
Menyoal Jangka Waktu Kerja MK untuk Selesaikan Perkara Pilpres dengan Adil
Guru yang Menguji UU MK Tambahkan Pasal Pengujian Perkara
Penyelesaian PHPilpres
Selanjutnya, terkait dengan dalil jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara PHPilpres yang dinilai Pemohon berada dalam rentang waktu yang terbatas, secara konstitusional, Mahkamah menilai batas waktu tersebut tidak terlepas dari desain sistem Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Dalam posisi ini, Saldi menambahkan apabila terdapat pemilihan umum dua putaran, terbuka kemungkinan pula adanya permohonan penyelesaian sengketa hasil Pemilu pada setiap putaran yang dimaksud tersebut.
Artinya, sambung Saldi, hal ini akan menambah jangka waktu dari yang telah ditentukan dalam Pasal 78 huruf a UU MK dan norma Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu, sehingga hal ini berpotensi mengganggu jadwal ketatanegaraan. Dengan kata lain, mengganggu batas waktu untuk pengambilan sumpah atau janji sebagai Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana termaktub dalam Pasal 9 UUD 1945. Selain itu, hal ini juga akan memperpanjang jangka waktu bagi MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, “jangka waktu Mahkamah memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden” dalam Pasal 78 huruf a UU MK dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu tidak memadai dalam memutus perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, jika tidak dimaknai menjadi 30 (tiga puluh) hari bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
“Menimbang berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut, dalil permohonan Pemohon mengenai jangka waktu pengajuan permohonan dan jangka waktu penyelesaian perkara perselisihan tentang hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 74 ayat (3) dan Pasal 78 huruf a UU MK serta Pasal 475 ayat (1) dan Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu beralasan menurut hukum untuk sebagian,” jelas Saldi terkait permohonan pengujian Pasal 74 ayat (3) UU MK, Pasal 78 huruf a UU MK, Pasal 475 ayat (1) UU Pemilu, Pasal 475 ayat (3) UU Pemilu yang dinilai Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 6A ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.(*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim