JAKARTA, HUMAS MKRI - Adanya frasa “gangguan lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) merupakan bentuk pengaturan yang dimaksudkan untuk mengantisipasi apabila di luar kategori kerusuhan, gangguan keamanan, maupun bencana alam terdapat peristiwa atau rangkaian peristiwa lain yang dapat mengganggu tahapan penyelenggaraan pemilu yang tidak terakomodasi dalam ketiga kategori jenis tersebut. Sehingga perlu diantisipasi supaya jangan sampai terjadi tahapan pemilu menjadi terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan.
Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 32/PUU-XXI/2023 yang dibacakan oleh HakimKonstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada Kamis (25/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Untuk melaksanakan pemilu lanjutan atau pemilu susulan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 harus dilakukan sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan agar penyelenggaraan pemilu tetap berjalan kembali mengikuti tahapan yang telah ditentukan. Dalam kaitan ini terlebih dahulu dilakukan penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu oleh KPU sesuai dengan tingkatan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan, yaitu oleh: (a) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa; (b) KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan; (c) KPU Provinsi atas usul KPU Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau (d) KPU atas usul KPU Provinsi apabila pelaksanaan Pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi [vide Pasal 433 UU 7/2017],” papar Enny.
Dengan demikian, lanjut Enny, pengaturan dalam norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 telah jelas mengenai ihwal yang menyebabkan tahapan pemilu terhenti atau tahapan pemilu tidak dapat dilaksanakan. Tidak hanya karena adanya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, serta bukan gangguan lainnya yang dapat dipolitisasi atau direkayasa untuk kepentingan tertentu sebagaimana yang dikhawatirkan oleh Pemohon.
Antisipasi Pembentuk UU
Selain itu, Enny menyampaikan penggunaan frasa “gangguan lainnya” baik dalam Pasal 230 ayat (1) dan Pasal 231 ayat (1) UU 8/2012, maupun dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 merupakan bentuk antisipasi pembentuk undang-undang yang juga bertujuan untuk memperluas ruang lingkup atau cakupan atas situasi dan kondisi yang tidak dapat diperkirakan terjadinya. Namun dapat memengaruhi pelaksanaan Pemilu sehingga perlu dilakukan Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan. Antisipasi pengaturan demikian adalah dalam rangka melindungi penyelenggaraan Pemilu termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu.
“Oleh karena itu, permohonan Pemohon yang memohon agar frasa ‘gangguan lainnya’ dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 dimaknai hanya ‘bencana nonalam dan bencana sosial’ menurut Mahkamah, justru akan membatasi ruang lingkup peristiwa atau rangkaian peristiwa kedaruratan atau gangguan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan karena tidak dapat diprediksi bentuk serta kapan terjadinya,” ujar Enny.
Menurut Enny, hal demikian juga justru akan dimaknai hanya “bencana non-alam dan bencana sosial”. Selain itu, menurut Mahkamah, akan membatasi ruang lingkup peristiwa atau rangkaian peristiwa kedaruratan atau gangguan yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan karena tidak dapat diprediksi bentuk serta kapan terjadinya. Hal demikian juga justru akan bertentangan dengan sifat ideal materi perundang-undangan yang seyogyanya dapat menjangkau perkembangan kebutuhan hukum di masa yang akan datang dalam perspektif perlindungan hak konstitusional pemilih.
“Dengan demikian, secara a contrario, adanya penambahan frasa "gangguan lainnya telah menjadikan ruang lingkup keadaan darurat yang menjadi syarat untuk dapat dilakukannya Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan tidak hanya terbatas pada adanya kerusuhan, gangguan keamanan, dan bencana alam, melainkan juga keadaan darurat lainnya yang belum ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, sepanjang bukan gangguan yang merupakan bentuk politisasi atau rekayasa untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, dengan mempertahankan norma frasa "gangguan lainnya dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 tidak berarti menimbulkan ketidakpastian penyelenggaraan pemilu, tetapi justru mengakomodasi keinginan atau tujuan permohonan Pemohon yang sebenamya menginginkan agar pemilu tetap dapat dilaksanakan dengan meneruskan tahapan yang terhenti atau melaksanakan tahapan yang tidak dapat dilaksanakan melalui skema pemilu lanjutan atau pemilu susulan,” tegasnya.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat norma frasa "gangguan lainnya dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak menghilangkan jaminan perlindungan hak pilih yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalikan oleh Pemohon. Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Untuk itu, Mahkamah menolak untuk seluruhnya permohonan tersebut.
Baca juga:
Rentan Multitafsir, Frasa “Gangguan Lainnya” dalam Penundaan Penyelenggaraan Pemilu Diuji
Permohonan Uji Konstitusionalitas Frasa “Gangguan Lainnya” dalam Aturan Penundaan Penyelenggaraan Pemilu Diperbaiki
Sebelumnya, Pemohon menjelaskan dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 terdapat frasa “Gangguan Lainnya” yang tentunya tidak jelas gangguan seperti apa yang dimaksud frasa tersebut. Artinya dalam pemaknaan yang multi tafsir dan sangat luas ini tentunya dapat membuat banyak kondisi yang dapat dimaknai sebagai syarat untuk dapat dihentikannya pelaksanaan pemilu (Penundaan Pemilu). Fakta yang terjadi yang juga dapat dikategorikan masuk dalam frasa “Gangguan Lainnya” dalam Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 adalah Putusan PN 757/2022 yang dalam amar putusannya pada angka 5 menghukum tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari. Sementara terhadap amar ke 6 (enam) menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad).
Menurut Pemohon, dampak dari Putusan PN 757/2022 apabila tidak dilaksanakan, maka dapat menyebabkan pelaksanaan Penyelengggara Pemilu sebagian menjadi cacat hukum karena dianggap membangkang putusan PN 757/2022 karena tetap melaksanakan penyelenggaraan pemilu pasca Putusan PN 757/2022 kendati upaya hukum banding dilakukan hingga kasasi apabila ada perlawanan dari pihak penggugat. Berdasarkan seluruh uraian di atas, Pemohon mendalilkan telah nyata dan terang benderang, terhadap ketentuan norma Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017 terhadap frasa “gangguan lainnya” bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga dalam Petitumnya, pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan Pasal 431 ayat (1) dan Pasal 432 ayat (2) UU 7/2017 terhadap frasa “Gangguan Lainnya” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F