JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan (UU Perkebunan). Permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) (Pemohon I), Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Karya Mandiri (Pemohon II), Koperasi Perkebunan Renyang Bersatu (Pemohon III), dan Koperasi Produsen Perkebunan Harapan Baru Ratu (Pemohon IV), ini mendalilkan Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Sidang Perkara Nomor 45/PUU-XXI/2023 ini dilaksanakan pada Senin (15/5/2023) dengan Majelis Sidang Panel yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo. Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan menyatakan, “Penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi Perkebunan, peremajaan Tanaman Perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana Perkebunan.”
Markus Manumpak Sagala selaku kuasa hukum para Pemohon mengatakan, salah satu sumber pembiayaan usaha perkebunan berasal dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan, ketentuan Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan memiliki makna yang limitatif mengenai peruntukan dan penggunaan dana yang dihimpun dari pelaku usaha. Pengaturan alokasi penggunaan penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan dana untuk kebutuhan masyarakat, sehingga diatur secara limitatif. Dengan demikian tujuan UU Perkebunan dapat tercapai sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 3 UU Perkebunan. Sementara itu, terkait alur peruntukan ataupun penggunaan penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 93 ayat (4) UU Perkebunan, sambung Markus, telah diejawantahkan dalam ketentuan lanjutan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Perkebunan.
Para Pemohon menyebutkan dari implementasi Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan yang tidak dimaknai secara limitatif berakibat alokasi dana dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan tidak mencapai tujuannya secara optimal, bahkan jauh dari tujuan yang hendak dicapai dalam undang-undang. Sebab dana tersebut diperuntukan juga bagi penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Oleh karena itu, norma tersebut jelas-jelas merugikan para Pemohon karena tidak mendapatkan hak-haknya secara optimal. Sejatinya, para Pemohon tidak menolak program biodiesel yang menjadi program pemerintah, namun selayaknya pemerintah tidak mengambil alokasi dana dalam pasal tersebut untuk pembiayaan industri biodiesel.
“Penggunaan dana untuk pembiayaan biodiesel bisa saja dilakukan, namun setelah terlebih dahulu dipastikan pengalokasian dana sawit agar lebih bermamfaat untuk masyarakat, sehingga perlu adanya pemaknaan limitatif terhadap program-program yang telah diamanatkan oleh Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan. Jika dana sawit peruntukannya tidak berjalan secara optimal, maka akan banyak Petani Kelapa Sawit khususnya para Pemohon dalam menyelenggarakan aktivitas perkebunan mengalami kesulitan dan kerugian yang berdampak buruk bagi hasil-hasil sawit yang diproduksi oleh para Pemohon. Maka dari itu, Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan harus dimaknai secara limitatif atau setidaktidaknya dimaknai prioritas agar di dalam pengelokasiaan dana-dana yang telah dihimpun oleh BPDPKS tidak menjadi timpang dan fokus kepada program-program yang tercantum pada Pasal 93 Ayat (4) UU Perkebunan,” urai Markus yang hadir bersama dengan Naufal Rizky Ramadhan.
Legal Standing
Dalam nasihat permohonan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyebutkan sebagai perkumpulan organisasi, maka Pemohon perlu menyertakan AD/ART yang menyatakan yang mewakili pihak di luar dan dalam pengadilan adalah benar yang mengajukan permohonan ini. Berikutnya, Wahiduddin juga meminta para Pemohon memperjelas isi dari petitum yang diajukan ke MK.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan catatan kepada para Pemohon mengenai pihak yang secara tegas mengajukan subjek hukum pada permohonan ini. Sebab ada yang sifatnya akumulasi, sehingga hal ini penting untuk kedudukan hukum para pihak. “Semua harus disesuaikan dengan AD/ART masing-masing perkumpulan ini,” jelas Suhartoyo.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan nasihat agar para Pemohon memperhatikan objek permohonan karena dalam UU 6/2023 sebenarnya telah mengalami perubahan. “Ini menjadi pintu masuk untuk pembahasan dalam permohonan. Kemudian pada lembaran negaranya pun berubah mengikuti yang baru pada UU Cipta Kerja,” sebut Daniel.
Pada akhir persidangan Daniel menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja hingga 29 Mei 2023 pukul 13.30 WIB. Kemudian pada batas waktu tersebut para Pemohon dapat menyerah naskah perbaikan ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya akan dijadwalkan persidangan berikutnya dengan menginformasikan lebih lanjut pada para Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim