JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang uji Materiil Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pengelolaan Wilayah Pesisir), kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (9/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 35/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh PT. Gema Kreasi Perdana yang diwakili oleh Rasnius Pasaribu (Direktur Utama). Adapun agenda sidang kali ini adalah perbaikan permohonan.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman selaku Ketua Panel, Feri Wirsamulia menyampaikan sejumlah perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemohon. Perbaikan tersebut di antaranya Pemohon memasukkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 27 Tahun 2007 untuk diujikan. Kemudian, Pemohon pun melengkapi identitas Pemohon.
“Kedua mengenai identitas pemohon yakni PT. Gema Kreasi Perdana adalah suatu perseroan terbatas yang dijadikan berdasar hukum Negara RI berkedudukan di Jakarta sebagaimana termaktub dalam akta pendirian perseroan,” ujarnya.
Selain itu, Feri menambahkan perbaikan lainnya yang dilakukan Pemohon adalah mengubah dalil permohonan serta petitum permohonan. Menyatakan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 281 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. “Dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan huku m mengikat sepanjang dimaknai sebagai larangan terhadap kegiatan lain selain yang diprioritaskan, termasuk larangan kegiatan pertambangan berikut sarana dan prasarananya,” ujarnya.
Baca juga: Menguji Aturan Larangan Penambangan Mineral Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Sebelumnya, Pemohon merupakan suatu badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas yang memiliki Ijin Usaha Pertambangan di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, terdapat keterkaitan sebab akibat (causal verband) dengan berlakunya Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU 1/2014. Pasal UU a quo ditafsirkan oleh Mahkamah Agung sebagai larangan tanpa syarat untuk melakukan kegiatan penambangan mineral di wilayah yang tergolong Pulau Kecil, padahal Pemohon telah memiliki Ijin yang sah dan diterbitkan oleh instansi yang berwenang untuk melakukan penambangan nikel di wilayah tersebut. Bahkan Ijin Usaha Pertambangan milik Pemohon telah mengalami beberapa kali perubahan dari Ijin semula berupa Kuasa Pertambangan Nomor 26 Tahun 2007 yang terbit sebelum berlakunya UU 27/2007.
Sehingga menurut Pemohon, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf (k) UU 1/2014 bila ditafsirkan sebagai larangan terhadap kegiatan pertambangan secara mutlak tanpa syarat, maka seluruh tata ruang terhadap Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diatur oleh Peraturan Daerah akan bertentangan dengan Undang-Undang a quo dan harus dilakukan perubahan. Akibatnya, seluruh perusahaan yang berusaha dibidang pertambangan di wilayah-wilayah tersebut harus dihentikan pula. Tentu hal ini akan merugikan banyak perusahaan tambang, dan sama halnya dengan Pemohon, mereka telah pula melaksanakan kewajiban pembayaran kepada negara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana