SURABAYA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan materi tentang dinamika Perppu yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) di hadapan para mahasiswa dan akademisi di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya pada Jum’at (5/5/2023). Daniel mengatakan sejak Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, tidak ada Perppu yang dibahas dalam waktu yang tidak singkat, setidaknya sebagian besar Perppu segera diputuskan di DPR dari diputuskannya oleh MK atas keberadaannya.
Lebih jelas Daniel menguraikan bahwa fungsi norma dalam Perppu dikondisikan untuk keadaan gentingatau darurat yang kemudian menjadi normal. Di Indonesia sendiri, Perppu ditujukan agar suatu keadaan genting dapat kembali menjadi normal. Dan apabila Perppu tersebut disetujui DPR menjadi suatu undang-undang, maka sifat dari norma yang ada di dalamnya akan menjadi permanen. Lalu, bagaimana dampak dari norma dari suatu Perppu menjadi permanen? Untuk menjawab hal tersebut, Daniel mengajak para akademisi yang tergabung dalam Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya untuk melakukan dan mendalami kajian-kajian lenih lanjut atas hal ini.
Dalam kegiatan Seminar Nasional bertema “Dinamika Perppu dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” ini, Daniel membahas secara saksama bagaimana konsep hukum tata negara darurat yang secara doktriner dikenal sebagai “constitutional dualism”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Intinya, lanjut Daniel, dalam dualisme konstitusional harus ada ketentuan yang mengatur dua sistem hukum yang berbeda, yaitu sistem hukum yang berlaku untuk keadaan normal yang melindungi hak-hak dan kebebasan dan keadaan yang bersifat darurat.
“Di Indonesia sendiri, ketika aturan darurat ini dibuat, maka terdapat syarat berupa DPR atau perwakilan rakyat tidak dapat mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan sungguh. Selain itu, sebelum dikeluarkannya suatu Perppu, presiden juga akan melakukan rapat dengan komisi-komisi terkait di DPR,” sebut Daniel.
Berikutnya Daniel mengemukakan tentang klasifikasi dari hukum tata negara (HTN) tentang negara darurat, yakni HTN darurat objektif, subjektif, tertulis, dan tidak tertulis. Dari empat klasifikasi ini, Indonesia merupakan negara yang menganut HTN subjektif. Lebih jauh lagi, Daniel mengajak para peserta seminar menyimak tabulasi Daftar Putusan MK tentang Perpu sejak 2009 hingga 2022. Dari data ini, Daniel mengatakan bahwa putusan-putusan MK kendati dalam amarnya menyatakan mengabulkan atau menolak permohonan pengujian Perpu, namun pada intinya permohonan pengujian Perpu tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Sebab, sebagaimana diketahui Perpu telah mendapat persetujuan atau tidak mendapat persetujuan oleh DPR.
Atas dinamika yang terjadi dan berkembang dalam kehidupan bernegara,sambung Daniel, peluang dan tantanganlah bagi MK kelak bahwa akankah MK dapat menilai makna “kegentingan yang memaksa” sebuah Perpu? Jika pun dapat melakukannya, maka dalam hal DPR tidak memberikan persetujuan atas sebuah Perpu, sedangkan MK menilai terdapat unsur kegentingan yang memaksa, hal inilah yang menjadi tantangan d masa mendatang yang perlu disikapi bersama atas bagaimana semestinya hukum tata negara mengatur hal ini. Selanjutnya, MK pun harus berhadapan dengan tantangan apakah selanjutnya MK berwenang menguji materi muatan atau substansi Perpu? Lalu apakah mekanisme dan tahapan pengujian Perpu sebagai peraturan darurat dapat disamakan dengan pengujian UU yang berlaku dalam keadaan normal? Apakah perlu adanya limitasi waktu penyelesaian perkara pengujian Perpu? Demikianlah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi penutup paparan Daniel untuk dapat memantik diskusi dalam forum besar ini. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.