JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). Putusan Nomor 19/PUU-XXI/2023 tersebut dibacakan pada Jumat (14/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pertimbangan yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo, MK mengatakan dalam mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU PPHI, para Pemohon mengaitkannya dengan adanya disparitas pengaturan syarat usia untuk menjadi konsiliator dengan mediator, sehingga menurut para Pemohon hal tersebut melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana dijamin oleh Pasal 281 ayat (2) UUD 1945.
Terhadap persoalan ini, menurut Mahkamah, adanya pelanggaran terhadap persamaan kedudukan di dalam hukum dan Pemerintah terjadi manakala warga negara tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak sama serta tidak mendapatkan kesempatan yang sama. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Konstitusi yang menjamin tetap diberikannya kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, ketentuan peraturan dalam UU PPHI telah menetapkan sejumlah syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar seseorang berhak dan dapat diberikan kepercayaan untuk menjabat dalam posisi atau jabatan tertentu.
“Sepanjang syarat-syarat tersebut diberlakukan sama terhadap seluruh warga negara dalam suatu posisi atau jabatan terentu maka tidak terjadi pelanggaran terhadap prinsip konstitusi dimaksud,” ucap Suhartoyo.
Dalam hal ini, sambung Suhartoyo, adanya pengaturan yang berbeda mengenai syarat antara konsiliator dan mediator sebagaimana diungkapkan para Pemohon tidak serta merta dapat dikatakan sebagai perbedaan dalam persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Pemahaman yang serupa juga berlaku dalam memahami dan menerapkan apa yang dimaksud dengan perlakuan diskriminatif sebagaimana dimaksud oleh Pasal 281 ayat (2) UUD 1945.
“Suatu aturan dapat dikatakan menerapkan perlakuan diskriminatif apabila terdapat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik. Dengan didasarkan pada pertimbangan tersebut pula, maka adanya pembedaan pengaturan syarat antara konsiliator dan mediator di mana untuk mediator tidak dinyatakan batasan usia minimalnya bukanlah aturan yang menimbulkan pelanggaran atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Terlebih lagi, keduanya memiliki tugas yang berbeda dari sumber daya yang berbeda sehingga tidak mungkin menyamakan sesuatu yang memang berbeda,” terang Suhartoyo.
Kebijakan Hukum Terbuka
Mahkamah dalam pertimbangan lainnya yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny menerangkan, dalam kaitan ini pembentuk undang-undang berhak menentukan syarat- syarat apa saja yang harus dipenuhi agar seseorang warga negara berhak menduduki suatu posisi atau jabatan tertentu sepanjang syarat-syarat tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945. Penentuan syarat batas usia minimal konsiliator sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) huruf c UU PPHI merupakan pilihan kebijakan dari pembentuk undang-undang dalam menentukan syarat apa saja yang menurut penalaran yang wajar perlu diterapkan agar seseorang dapat diangkat sebagai konsiliator.
Hal yang sama berlaku pula terhadap penentuan syarat untuk memperoleh jabatan lain sebagaimana ditentukan dalam UU PPHI, di antaranya syarat untuk menjadi mediator dan arbiter. Oleh karena itu, lanjut Enny, pembedaan syarat untuk menjadi konsiliator dengan mediator merupakan penerapan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) karena UUD 1945 tidak mengatur dan membatasi mengenai syarat tersebut dan menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang sesuai dengan karakter dan kebutuhan dari jabatan dimaksud. Dengan demikian, sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan hukum di atas, pembedaan syarat antara konsiliator dan mediator bukanlah pembedaan yang diskriminatif dan bukan pula pembedaan yang bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sepanjang norma tersebut tidak bertentangan secara nyata dengan UUD 1945, tidak melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, sehingga tidak ada alasan konstitusional bagi Mahkamah untuk membatalkan atau memaknai norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 sebagaimana petitum para Pemohon.
Syarat Usia Minimal
Lebih lanjut, para Pemohon juga mendalikan mengenai berlakunya syarat usia minimal 45 (empat puluh lima) tahun berpotensi menghilangkan kesempatan untuk diangkat menjadi konsiliator dan mendapatkan hak honorarium bagi setiap calon konsilator yang berusia di bawah 45 (empat puluh lima) tahun, tetapi telah memenuhi persyaratan lainnya dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i UU PPHI dan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Permenaker Nomor 10 Tahun 2005. Menurut Mahkamah, hak untuk mendapatkan honorarium bukan merupakan hak absolut yang melekat pada warga negara, melainkan pada profesi warga negara. Hak honorarium yang dimaksud oleh para Pemohon tersebut merupakan hak yang melekat dengan jabatan konsiliator itu sendiri, tanpa diangkat sebagai konsiliator, maka dengan sendirinya seorang warga negara tidak memiliki hak terhadap honorarium tersebut.
“Dengan demikian, dalam kaitannya dengan pertimbangan hukum pada Sub-paragraf 3.11.1] di atas, oleh karena berlakunya syarat batas usia minimal konsilator tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka dengan sendirinya tidak diangkatnya para Pemohon sebagai konsillator bukan merupakan pelanggaran hak konstitusional warga negara termasuk hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” urai Enny.
Jumlah Konsiliator
Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan minimnya jumlah konsiliator hubungan industrial sehingga terdapat urgensi untuk segera melakukan rekrutmen konsiliator dengan mengecualikan syarat umur minimal, menurut Mahkamah persoalan tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas norma. Sedikitnya jumlah konsiliator tidak sepenuhnya dapat dikaitkan dengan syarat usia atau syarat lain sebagaimana diatur dalam norma Pasal 19 UU PPHI, terlebih persyaratan untuk menjadi konsiliator bersifat kumulatif.
“Dipenuhinya syarat tertentu tidak dapat menegasikan syarat yang lain karena merupakan satu kesatuan syarat yang harus dipenuhi sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Sub-paragraf [3.11.1]. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan konsillator dalam penerapan UU 2/2004 tidak ada relevansinya dengan konsthusionalitas syarat batas usia minimal konsilator, sehingga tidak tepat apabila fakta tersebut dijadikan alasan untuk membatalkan atau menyatakan norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU 2/2004 inkonstitusional,” urai Enny.
Adapun mengenai persoalan faktual yang dialami oleh para Pemohon, para Pemohon telah diundang dan ditugaskan untuk mengikuti semua tahapan rekrutmen calon konsilator, walaupun faktanya usia para Pemohon belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh norma Pasal 19 ayat (1) huruf c UU PPHI, sehingga para Pemohon tidak dapat diangkat dan tidak diberi legitimasi sebagai konsiliator merupakan persoalan implementasi atau penerapan norma, bukanlah persoalan konstitusionalitas norma. Dalam hal ini, seharusnya pihak yang memberikan sosialisasi, mengundang dan menugaskan para Pemohon telah memberikan informasi yang tepat sebelum para Pemohon menjalani proses rekrutmen sebagai calon konsilator mengenai seluruh persyaratan yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU PPHI. “Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, dalil para Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.
Sebelumnya, para Pemohon menjelaskan adanya surat undangan dari Plt. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia. Pemohon menjelaskan pada 6 Desember 2021 terdapat Surat undangan dari Plt. Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor Und.103/HI.04.02/XII/21. Perihal undangan dengan agenda Pembahasan Pra-Rekrutmen Calon Konsiliator Hubungan Industrial untuk mengidentifikasi kebutuhan dan potensi minat pada jabatan Konsiliator Hubungan Industrial berikut skema pembiayaannya yang berasal dari unsur pegawai Non PNS/Honorer di daerah padat industri tertanggal 6 Desember 2021.
Para pemohon telah memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Konsiliator dan tinggal menunggu legitimasi. Namun, hal tersebut tidak kunjung diberikan oleh Menteri Ketenagakerjaan. Setelah Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bekasi mengirimkan surat perihal Konsultasi Pelaksanaan Bimbingan Teknis (Bimtek) Calon Konsiliator Kabupaten Bekasi, barulah para Pemohon mengetahui alasan mereka tidak kunjung mendapatkan legitimasi Konsiliator dikarenakan terhalang syarat umur minimum untuk dilakukan pengangkatan calon konsiliator yang mensyaratkan berumur minimum 45 tahun sebagaimana tercantum pada UU PPHI.
Ketentuan batas syarat umur minimal Konsiliator lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan batas syarat umur minimal untuk dapat diangkat menjadi Hakim Ad-Hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Agung Ad-Hoc pada Mahkamah Agung yang lebih rendah yaitu "berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun" berdasarkan Pasal 64 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004”. Menurut para pemohon, penetapan syarat umur tersebut tentu menutup hak bagi setiap Calon Konsiliator yang memiliki umur di bawah 45 tahun yang telah memenuhi seluruh syarat-syarat sebagaimana termuat UU a quo. Selain itu pula terdapat urgensi lain untuk segera dilakukan pegangkatan sebagai Konsiliator karena faktanya sejak tahun 2021 jumlah Konsiliator di Indonesia hanya berjumlah 17 orang. Hal demikian tentu membuat tidak tercapainya tujuan dibentuknya lembaga konsiliasi yakni penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah.
Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 19 ayat (1) huruf c UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “calon konsiliator yang telah memenuhi seluruh syarat-syarat dalam Pasal 19 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F