JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak seluruh permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Permohonan diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
“Amar putusan menyatakan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 89/PUU-XX/2022, Jumat (14/4/2023) di ruang sidang pleno MK.
Para Pemohon mengujikan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Selengkapnya Pasal 5 UU Pengadilan HAM menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.”
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Mahkamah mengatakan politik hukum HAM di Indonesia tidak hanya sekadar berpijak pada prinsip universalisme HAM, namun tetap menjaga keberlakuan sosial-budaya berdasarkan prinsip partikularisme yang tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ideologi Pancasila. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan dan pemenuhan HAM tetap harus diletakkan dalam koridor perlindungan terhadap kepentingan nasional tiap negara sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi masing-masing negara. Dengan demikian, meskipun rumusan HAM dalam UUD 1945 memuat frasa "setiap orang", maka tidak secara otomatis menimbulkan tanggung jawab aktif bagi negara (pemerintah) Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia tiap individu yang bukan warga negaranya.
Selain itu, sambung Wahiduddin Adams, terkait dengan digunakannya frasa "setiap orang" pada rumusan mengenai hak-hak konstitusional dalam Bab XA UUD 1945 yang tidak mengenal adanya pembedaan antara hak asasi seorang warga negara Indonesia dengan warga negara asing, sangat mungkin menimbulkan kesalahpahaman apabila dilepaskan dari konteks perlindungan dan penegakan HAM yang menjadi tanggung jawab suatu negara. Karena, hal demikian secara otomatis dapat diartikan memberikan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk berperan secara aktif dalam memberikan perlindungan kepada warga negara asing.
Meskipun perumusan frasa "setiap orang" dalam UUD 1945 dapat diartikan hak asasi tidak hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia, tetapi juga termasuk warga negara asing yang dijamin dan dilindungi oleh sistem hukum dan peradilan Indonesia, namun tidak berarti dalam sistem hukum Indonesia berlaku secara otomatis bahwa setiap orang harus diperlakukan dan mendapatkan hak yang sama tanpa mempertimbangkan status kewarganegaraannya.
Pelanggaran HAM di Myanmar
Berkenaan dengan isu mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar tidak dapat dilepaskan pula dari isu politik. Dalam kaitan ini, Indonesia telah memiliki komitmen sebagai bentuk tanggung jawab dalam melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang tetap harus berpedoman pada prinsip hubungan luar negeri dan politik luar negeri yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional (national interest).
Berkenaan dengan hal tersebut, Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (UU 37/1999) telah memberikan pengertian yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia. Selain itu, juga secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sementara yang dimaksud dengan diabdikan untuk kepentingan nasional adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana dimaktubkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Oleh karena itu, kata Wakil Ketua MK Saldi Isra, pemerintah memiliki peran yang sangat strategis untuk menentukan langkah kebijakan yang akan ditempuh dalam relasi internasional dengan negara lain, termasuk juga yang berkaitan dengan isu penegakan HAM dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan segala aspek yang terkait dengan risiko atau dampak yang akan timbul sebagai ekses dari kebijakan politik luar negeri yang diambil, baik dari aspek hukum, politik, sosial maupun ekonomi. Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi ketahanan nasional dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia.
Yurisdiksi Universal
Mahkamah selanjutnya akan menilai konstitusionalitas norma frasa "oleh warga negara Indonesia" dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 yang menurut dalil para Pemohon bertentangan dengan UUD 1945. Para Pemohon memohon agar frasa "oleh warga negara Indonesia' dalam norma Pasal 5 UU 26/2000 dinyatakan inkonstitusional agar dapat diberlakukan yurisdiksi universal di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk tanggung jawab Indonesia dalam melaksanakan ketertiban dunia, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana Pembukaan UUD 1945.
Menurut para Pemohon, Saldi menyebut, hal demikian bertujuan agar para pelaku pelanggaran HAM dari negara mana pun yang memasuki teritorial Indonesia dapat diancam dan diadili oleh Pengadilan HAM Indonesia, termasuk dalam hal ini kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Myanmar.
Mahkamah menegaskan latar belakang pembentukan UU 26/2000 yang tidak dapat dilepaskan dari "peran masyarakat intemasional kepada pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Pendirian pengadilan HAM ini merupakan salah satu bentuk usaha Indonesia untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dengan memaksimalkan mekanisme hukum nasional dalam menangani pelanggaran HAM di dalam negerinya (exhaustion of local remedies). Hal demikian ditujukan agar mencegah masuknya mekanisme hukum internasional untuk mengadili warga negara Indonesia yang diduga melakukan pelanggaran HAM yang berat karena dalam hukum internasional, pengadilan internasional tidak dapat secara serta merta menggantikan peran pengadilan nasional tanpa melewati peran pengadilan nasional.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan, pembahasan mengenai yurisdiksi selalu berkelindan dengan kedaulatan dan otoritas suatu negara. Dalam hal ini, setiap negara yang berdaulat pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaan pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal, setiap negara memiliki otoritas mengatur tindakan-tindakan dalam wilayahnya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan nasional yang harus dilindungi. Dalam konteks yurisdiksi universal, maka kepentingan yang harus dilindungi adalah kepentingan masyarakat internasional dari bahaya yang ditimbulkan oleh serious crime, sehingga merasa wajib untuk menghukum pelakunya tanpa perlu adanya titik pertautan antara negara yang akan melaksanakan yurisdiksinya dengan pelaku, korban dan tempat dilakukannya kejahatan (justice beyond borders). Dalam pengertian demikian, adanya kesadaran serta kerja sama dari berbagai negara menjadi pijakan penting untuk melaksanakan yurisdiksi universal karena, jika tidak, dapat disalahartikan sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara lain. Dalam konteks ini, terdapat hal penting yang harus dipertimbangkan, yaitu dominannya muatan politik dalam pelaksanaan yurisdiksi universal karena terkait dengan willingness dari suatu negara untuk merelakan warga negaranya diadili oleh negara lain. Misalnya terkait dengan salah satu tujuan dari yurisdiksi universal yaitu agar suatu negara tidak memberikan tempat yang aman (no safe haven) bagi para pelaku pelanggaran HAM yang berat, juga bersifat sangat politis walaupun prosesnya melalui persidangan (hukum).
Menurut Mahkamah, yurisdiksi universal bukanlah sesuatu yang bersifat absolut, tetapi harus diseimbangkan dengan kewajiban internasional dan juga kepentingan-kepentingan lainnya dari suatu negara, sehingga suatu negara dapat menolak melaksanakan yurisdiksi universal apabila tidak dimungkinkan oleh dinamika politik, sosial dan ekonomi secara global atau kebutuhan dan kepentingan lainnya (rapidly changing situation). Di satu sisi, terlebih lagi apabila hal tersebut berpotensi mengganggu kepentingan nasional dari suatu negara, dan di sisi lain juga belum tentu dapat secara efektif memberikan rasa keadilan bagi para korban pelanggaran HAM yang berat.
Kemudian, Enny mengatakan, tantangan, potensi, dan dampak yang ditimbulkan dari penerapan yurisdiksi universal oleh suatu negara, maka menurut Mahkamah, penerapan yurisdiksi universal bukanlah satu-satunya forum untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat lintas negara karena adanya potensi disalahartikan sebagai bentuk intervensi terhadap kedaulatan negara yang malah akan menimbulkan permasalahan lain dalam hubungan diplomatik antar negara dan memengaruhi kredibilitas suatu negara dalam pergaulan internasional, Oleh karena itu, akan lebih baik apabila yurisdiksi universal diselenggarakan di tingkat kawasan/regional karena kedekatan dengan tempat terjadinya kejahatan serta ketersediaan barang bukti sehingga akan memudahkan untuk melakukan pengaturan-pengaturan antarpihak.
Menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa dengan menghilangkan frasa 'oleh warga negara Indonesia dalam Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 5 UU 26/2000 agar UU 26/2000 dapat menerapkan prinsip yurisdiksi universal sehingga Pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara manapun adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Pandangan DPR Soal Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Berat
Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Tanggung Jawab Negara dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat
Konstitusi Indonesia Melindungi HAM Setiap Orang Termasuk WNA
Sistem Peradilan Myanmar Pasca Kudeta
Yurisdiksi Universal untuk Mengakhiri Impunitas Pelanggaran HAM Berat
Kesaksian Mantan Investigator PBB Soal Pelanggaran HAM Berat di Myanmar
Indonesia Belum Ratifikasi Statuta Roma
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Para Pemohon mengujikan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM. Selengkapnya Pasal 5 UU Pengadilan HAM menyatakan, “Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.”
Dalam sidang perdana yang digelar di MK pada Senin (26/09/2022), para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” dalam Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Pelanggaran HAM di Myanmar
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Dengan adanya pembatasan pada Pasal 5 UU Pengadilan HAM tersebut, maka sulit bagi para korban pelanggaran HAM untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran HAM. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945,” pinta Feri Amsari selaku kuasa hukum para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK, Senin (26/09/2022).
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.