JAKARTA, HUMAS MKRI – Persoalan persyaratan batas usia dalam Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua yang sejatinya menyentuh kepentingan Pemohon guna mencalonkan kembali pada periode berikutnya tidak dapat dikatakan sebagai wujud keadilan dalam artian ketidaksamaan hak. Kesamaan hak dalam persyaratan yang menunjuk pada orang yang sama in casu Pemohon harus diberikan jaminan atas pemenuhan keadilan.
Demikian disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Syafi’iyah Abdul Chair Ramadhan selaku ahli yang dihadirkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang ketujuh pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Sidang perkara Nomor 112/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron ini digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (13/4/2023) siang.
Lebih lanjut Abdul Chair mengatakan, kesamaan hak pada orang yang sama juga terkait dengan kepastian hukum. “Van Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum dapat dimaknakan bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian juga diartikan sebagai kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat. Kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di masyarakat. Mengacu pada pendapat Van Apeldoorn maka perubahan persyaratan batas usia pimpinan KPK bertentangan dengan kepastian hukum,” terang Abdul Chair dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.
Menurutnya, perihal pengecualian dalam kaitannya dengan batas usia jabatan dapat ditemui dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya pengecualian tersebut terhadap Hakim Konstitusi yang sedang menjabat telah memenuhi persyaratan usia sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d yakni berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun. Pengecualian dalam Pasal 87 huruf b diberikan kepada salah satu Hakim Konstitusi yang tidak memenuhi persyaratan usia minimal sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d dan oleh karenanya dianggap memenuhi syarat.
Di sisi lain, sambungnya, pada UU KPK Perubahan Kedua, pengecualian demikian tidak ditemukan. Di sini dipertemukan penerapan pengecualian yang tidak diperlakukan sama hanya ada dan diberlakukan oleh Hakim Konstitusi, namun demikian tidak diberikan kepada pada pimpinan KPK. Padahal keduanya sama-sama sedang menjabat. Perbedaan demikian bersifat diskriminatif. “Dikatakan demikian, oleh karena perihal pengecualian tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Pemberlakuan aturan pengecualian yang berbeda tersebut sebagai bentuk "membedakan yang sama". Kondisi ini merupakan ketidakadilan,” tegasnya.
Penambahan Batas Usia Pimpinan KPK
Abdul Chair juga menegaskan penambahan batas usia dari sebelumnya berusia 40 (empat puluh) tahun menjadi 50 (lima puluh) tahun sebagai persyaratan Pimpinan KPK sebagaimana diatur dalam 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua secara faktual hanya berlaku pada diri Pemohon. Dengan tidak adanya aturan pengecualian sebagaimana diterapkan bagi Hakim Konstitusi, memperlihatkan adanya kesengajaan pembentuk undang-undang terlepas dari berbagai alasan peningkatan usia minimal, seharusnya diberlakukan "aturan pengecualian" dalam UU KPK Perubahan Kedua. Pembedaan perlakuan antara Hakim Konstitusi dengan Pimpinan KPK menyangkut aturan pengecualian, menunjukkan adanya penyimpangan nilai keadilan sebagai materi dalam suatu aturan hukum,” terang Abdul Chair.
Ketiadaan aturan pengecualian dalam UU KPK Perubahan Kedua memperlihatkan pembentuk undang-undang melebihkan bagi yang lain dan mengurangi (membatasi) hak Pemohon. Ketiadaan pengecualian tersebut menjadikan Pemohon mengalami kerugian atas hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya secara faktual. Keadilan tidak benar-benar diterapkan dan tidak diperlakukan sama dengan ketentuan pengecualian bagi Hakim Konstitusi.
Kerugian Hak dan Kewenangan Pemohon
Abdul Chair menjelaskan, Pasal 29 huruf e UU KPK Perubahan Kedua mengandung ketidakpastian dan sekaligus ketidakadilan. Baik secara langsung maupun tidak langsung, pasal a quo menyentuh hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon.
Menurutnya, adanya perubahan persyaratan batas usia Pimpinan KPK bukan karena kebetulan. Dengan kata lain, pembentuk undang- undang telah melakukannya dengan sengaja. Demikian itu memiliki hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan timbulnya kerugian konstitusional Pemohon. Terlebih lagi kerugian konstitusional tersebut bukan bersifat potensi, namun bersifat spesifik (khusus) dan aktual.
Tidak dapat dipungkiri, ketentuan aturan hukum dapat diterapkan secara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak boleh bertentangan dengan norma hukum di atasnya. Norma hukum di atasnya tiada lain menunjuk pada kemanfaatan umum sebagaimana terdapat dalam konstitusi.
Dikatakan Abdul Chair Ramadhan, adanya perubahan persyaratan yang merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon harus dilakukan koreksi. Koreksi dimaksud merupakan wujud dari keadilan korektif. Dalam konsep keadilan korektif, keadilan menjadi jalan tengah antara kehilangan dan tambahan. Hakim menjadi pilihan ketika terjadi persoalan, karena hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan melalui putusannya yang adil. Tindakan adil merupakan jalan tengah di antara bertindak tidak adil dengan menderita ketidakadilan. Keadilan korektif adalah keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi kejadian yang tidak adil.
Koreksi atas ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikannya pada posisi sebelumnya. Dalam perkara a quo, koreksi dapat dilakukan dengan mengembalikan persyaratan batas usia minimal pada ketentuan yang mengatur sebelumnya (in casu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Baca juga:
Nurul Ghufron Uji Aturan Batas Usia Pimpinan KPK
Nurul Ghufron Perbaiki Permohonan Uji Aturan Batas Usia Pimpinan KPK
Syarat Usia Pimpinan KPK Sebagai Bentuk Tata Tertib Administrasi
Pemerintah Sebut Perlu Adanya Syarat Batas Usia Bagi Pimpinan KPK
Ahli Nilai Masa Jabatan Pimpinan KPK Bertentangan dengan Cita Hukum
Pengaturan Batasan Usia Perlu Alasan Rasional
Sebelumnya, Nurul Ghufron selaku Pemohon merupakan Wakil Ketua KPK yang telah diangkat memenuhi kualifikasi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2022 (UU KPK pertama). Akan tetapi, dengan berlakunya Pasal 29 huruf (e) UU KPK telah mengurangi hak konstitusional Pemohon. Berlakunya ketentuan pasal a quo yang semula mensyaratkan usia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun, setelah perubahan menjadi paling rendah adalah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun mengakibatkan pemohon yang usianya belum mencapai 50 tahun tidak dapat mencalonkan diri kembali menjadi pimpinan KPK untuk periode yang akan datang. Hal ini kontradiktif dengan Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002.
Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan bahwa dirinya telah dirugikan secara konstitusional untuk mencalonkan diri sebagai Pimpinan KPK pada masa jabatan selanjutnya. Pemohon meyakini bahwa aturan pembatasan usia minimal menduduki jabatan pemerintahan memiliki makna agar pemangku kepentingan terpilih tersebut adalah orang sudah memiliki kedewasaan. Sehingga, menurut Pemohon, orang yang telah berpengalaman dalam suatu jabatan harus pula dipandang “telah memenuhi syarat secara hukum” untuk memenui jabatan tersebut. Adapun dengan berlakunya pasal a quo, Pemohon berpandangan bahwa dirinya telah kehilangan hak atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, serta untuk memperoleh pekerjaan dengan perlakuan yang adil. Untuk itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 29 huruf e UU KPK inkonstitusional secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak juga terdapat ketentuan “berpengalaman sebagai Pimpinan KPK” pada Pasal 29 huruf (e) UU KPK.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita