JAKARTA, HUMAS MKRI – Aturan mengenai sanksi pidana terhadap penghinaan lambang negara sebagaimana termuat dalam Pasal 237 huruf c Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diuji secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung tercatat sebagai Pemohon Perkara Nomor 36/PUUXXI/2023. Selain menguji Pasal 237 huruf c KUHP, para Pemohon juga menguji Pasal 100 ayat (1) dan Pasal 256 KUHP.
Dalam sidang perdana yang digelar pada Kamis (13/4/2023) di Ruang Sidang Pleno MK, Leonardo yang hadir langsung dalam persidangan menyebut Pasal 237 huruf c KUHP serupa dengan Pasal 57 huruf d KUHP yang pernah dibatalkan MK. Ia menilai dengan memasukkan kembali pasal tersebut, Pemerintah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK Nomor 4/PUU-X/2012
“Tidak ada pembedaan serupa sama sekali tetapi yang menjadi ironis Pasal 57 itu yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 entah kenapa diberlakukan kembali dan dimasukkan kembali kedalam KUHP yang tertuang dalam Pasal 237. Artinya, bahwa di sini sudah menandakan Pemerintah tidak mematuhi putusan MK atau dalam bahasa kasarnya putusan MK ini hanya dianggap formalitas aja, sehingga Pemerintah tidak melaksanakan putusan MK ini yang sudah ada tertera Putusan Nomor 4/PUU-X/2012. Ini menjadi sangat ironis pemerintah tidak mengakui atau melaksanakan putusan Mk tersebut dan dituangkan kembali ke KUHP,” jelas Leonardo dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat tersebut.
Mengekang Kebebasan Berekspresi
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan mengenai sanksi pidana bagi orang yang hendak melakukan unjuk rasa maupun demonstrasi tanpa adanya izin sebagaimana tercantum dalam Pasal 256 KUHP. Pemohon beranggapan pasal tersebut menimbulkan kerugian potensial dan dalam hal mengancam kebebasan berpendapat seperti termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Pemohon berpendapat sekaligus merasa khawatir secara kerugian konstitusional potensial. Bila terjadi sewaktu-waktu terjadinya demo besar-besaran diakibatkan pemerintah telah korup, sering melakukan KKN, atau bertindak semaunya/sewenang-wenang seperti layaknya kasusdemo tahun 1998. Bila kasus serupa terjadi dikemudian hari tanpa adanya pemberitahuan dulu kepada pihak berwenang maka sangat rentan terjadinya penangkapan yang tidak sah, dan abuse of power yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani demonstrasi yang tidak ada pemberitahuan mengenai demo,” jelas Leonardo.
Lainnya, para Pemohon mempermasalahkan mengenai Pasal 100 KUHP yang dinilai berpotensi menimbulkan kerugian konstitusional dengan adanya pemberian hukuman mati namun dengan masa percobaan. Menurut para Pemohon, hukuman mati sudah dianggap sebagai hukuman yang paling manjur untuk memberikan rasa keadilan dan mencegah terulangnya kejahatan serupa. Adanya efek teror dan rasa takut akan membuat para calon pelaku tindak kejahatan jera. Hal ini akan melahirkan kontrol dan stabilitas keamanan di masyarakat. Berdasarkan hal-hal tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 100, Pasal 237 huruf C dan Pasal 256 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul sebagai Anggota Panel Hakim mengingatkan para Pemohon bahwa kerugian materiil dalam pengujian undang-undang timbul karena berlakunya sebuah undang-undang. “Kerugian konstitusional yang dialami Pemohon juga karena berlakunya norma yang diuji. Itu yang harus dipikirkan kalau mau melanjutkan permohonan ini,” saran Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyorot mengenai petitum Pemohon yang meminta agar ketiga pasal yang diuji dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat. Ia mengingatkan para Pemohon bahwa meski sudah disahkan, KUHP baru berlaku 3 tahun setelah diundangkan. Ia meminta agar Pemohon memikirkan ulang terkait hal ini.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan para Pemohon diberi waktu untuk memperbaiki permohonannya selambatnya 14 hari kerja. Perbaikan permohonan paling lambat diterima Kepaniteraan MK pada Rabu 26 April 2023 pukul 13.00 WIB. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.