JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah praktisi hukum yang tergabung dalam Perkumpulan Pengacara Pemerhati Peradilan Konstitusi (PPPPK) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (12/4/2023). Rombongan yang diwakili Viktor Santoso Tandiasa, Muhamad Hafidz, Eliadi Hulu, dan beberapa advokat konstitusi lainnya diterima langsung oleh Plt. Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan dengan didampingi Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono, di Aula Gedung 2 MK.
Dalam pembuka audiensi ini, Muhammad Hafidz mengungkapkan ketidakpahaman yang mendalam dari Warga Negara Indonesia (WNI) saat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke MK. Hal ini perlu disikapi dengan aksi konkret.
Sejatinya diskusi tentang sarana bagi kemudahan akses persidangan MK bagi para pencari keadilan telah diawali para praktisi hukum ini pada 2020 lalu. Untuk itu, pada pertemuan lanjutan ini diharapkan dapat didiskusikan kembali untuk pembentukan pos bantuan hukum (Posbakum) yang mengedepankan pendampingan pada calon Pemohon dalam pembuatan permohonan berbagai perkara ke MK.
“Dari rasa cinta kami pada MK, menginginkan pembentukan badan atau forum yang bisa menjadi tempat konsultasi bagi para pencari keadilan. Hari ini kami menyampaikan niat agar para pencari keadilan bisa menyampaikan permohonan secara ideal saat melakukan persidangan di MK. Posisi Posbakum di tingkat pengadilan negeri misalnya, meski memiliki batasan akses ke dalam lembaga yakni hanya membuatkan format permohonan perkara, berkonsultasi, maka kenapa MK? Karena orang akan percaya jika dibuat sendiri oleh MK. Untuk itu, kami ingin MK menyediakan instrumen yang demikian untuk membantu para pencari keadilan,” sampai Hafidz.
Sementara itu dalam audiensi berbentuk diskusi ini, Eliadi pun menceritakan pengalaman pertamanya saat mengajukan permohonan ke MK. Diakui olehnya bahwa dalam menyusun permohonan pengujian undang-undang ke MK bukanlah perkara mudah, utamanya mengkonstruksikan dan menarasikan uraian kerugian konstitusional yang harus disajikan dalam permohonan.
“Kita bayangkan masyarakat di daerah terpencil seperti Nias misalnya yang ada hak konstitusinya terlanggar namun akan menemui banyak kesulitan saat melakukan penyusunan permohonan maupun nantinya menghadiri sidang-sidang di MK yang dimulai dengan sidang pemeriksaan pendahuluan. Kita berharap MK dengan fungsinya sebagai penjaga konstitusi, demokrasi, dan hak asasi manusia dapat bertindak lebih melalui instrumen ini (Posbakum) untuk membantu para pencari keadilan dalam menyusun permohonan,” cerita Eliadi.
Kemudahan Akses Keadilan
Heru Setiawan menyambut baik usul pembentukan Posbakum dari para praktisi hukum ini. Heru mensarikan bahwa kemudahan akses masyarakat untuk menyusun permohonan pengujian undang-undang (PUU) yang baik belumlah terwujud sebagaimana dicita-citakan oleh para pencari keadilan. Dikatakan oleh Heru bahwa pada PMK 2/2021 telah dikenalkan 13 tahapan dalam pengajuan permohonan, namun sebelum permohonan hadir di persidangan MK diakui tidak terdapat perbantuan hukum.
Sehubungan dengan hal ini jika dikaitkan dengan upaya memberikan kemudahan akses persidangan bagi pencari keadilan, MK salah satunya memberikan bimbingan teknis (bimtek) bagi anggota partai politik, advokat, anggota Bawaslu dan KPU. Para pihak ini, sambung Heru, diberikan bimbingan untuk menjadi Pemohon dan Pihak Terkait dalam sidang perkara penyelesaian hasil pemilihan umum (PHPU). Sementara untuk PUU MK belum memberikan bimtek yang serupa yang dapat dijadikan pedoman bagi para pihak dalam bersidang.
“MK melalui Kesekjenan ini turut memikirkan kemudahan akses para pihak dalam setiap agenda persidangannya. Tugas kami menyampaikan pada hakim konstitusi, di mana jalurnya adalah kami akan laporkan pada Wakil Ketua MK. Kemudahan aksesnya bagaimana nanti membuat permohonan yang baik, maka dibutuhkan Posbakum. Entah nantinya dibentuk oleh MK sendiri atau diadakan ruangan khusus. Namun sejatinya MK punya 70 sarana kerja sama dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Sehingga hingga saat ini semoga itu bisa menjadi bagian dari Posbakum di daerah-daerah,” ungkap Heru.
Menjaga Independensi
Sementara itu, Fajar Laksono dalam tanggapan atas ide-ide untuk kemudahan akses bagi pencari keadilan ini oleh MK telah dilakukan dengan banyak upaya. Terhadap adanya 510 permohonan di MK yang disebutkan dinyatakan “Niet Ontvankelijke Verklaard” (NO/permohonan Pemohon tidak dapat diterima) tersebut perlu dilakukan pendalaman lebih spesifik. Fajar melihat keberadaan putusan hukum permohonan tersebut jika dikaitkan dengan pemahaman warga negara dalam penyusun permohonan perkara PUU, maka MK telah memanfaatkan berbagai jaringan atau mitra konstitusinya. Misalnya, keberadaan para dosen yang tergabung dalam APHTN-HAN yang dinilai Fajar menjadi pihak yang sangat kredibel untuk diminta masukannya terkait hukum acara MK dan sistematika serta outline dari suatu sistematika permohonan di MK.
“Saya menyambut baik tetapi keberadaan Posbakum ini harus bisa diukur. Kenapa kemudian MK yang berperkara boleh tidak advokat, ya ini biar siapapun bisa beracara di MK. MK membuka luas, tetapi dalam perjalanan bahwa jika tidak pakai advokat permohonan berantakan. Ini suatu dinamika, tentu banyak program sudah dilakukan mulai dari kegiatan sosialisasi PPKHWN. Di mana pada kegiatan ini MK membuat orang-orang sadar dulu akan hak konstitusionalnya,” kata Fajar.
Selanjutnya, ada bimtek, di mana para pihak yang disinyalir berpotensi berperkara dapat kemudian meyusun permohonan, memahami uraian legal standing dalam permohonan, dan semua yang dijabarkan pada permohonan itu ada rambu-rambunya. “Paling tidak, MK punya berbagai kegiatan semacam itu karena sangat luasnya target hukum MK. Oleh karena itu, usulan ini melengkapi nantinya karena dapat dijadikan kerja lebih MK, tetapi perlu pula ada pengkajian terkait hubungan MK dengan advokat karena MK punya kepentingan menjaga independensinya,” terang Fajar.
Baca juga:
Advokat Usulkan MK Bentuk Pusat Bantuan Hukum Bagi Masyarakat
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.