JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pemeriksaan Pendahuluan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Senin (10/4) siang di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor Perkara 33/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Asep Muhidin dan Rahadian Pratama yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Dua orang warga Garut, Jawa Barat, tersebut mempersoalkan norma Pasal 80 KUHAP yang menyatakan, “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Pada persidangan, para Pemohon yang hadir secara daring menjelaskan Pemohon pernah mengajukan Permohonan Praperadilan sebanyak tiga kali. Kesimpulan pertimbangan pada ketiga Putusan tersebut adalah menolak permohonan Praperadilan disebabkan Kejaksaan belum melakukan serangkaian pemeriksaan dalam menanggapi laporan pengaduan masyarakat sehingga Majelis Hakim menilai prematur.
“Bahwa berdasarkan uraian di atas, Pemohon telah dirugikan secara konstitusional karena tidak adanya kepastian hukum dari lembaga Kejaksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dengan segera dengan serangkaian pemeriksaan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP),” kata Asep Muhidin di hadapan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Asep meminta Kejaksaan Negeri Garut melakukan tindakan hukum sesuai dengan tugas pokoknya ketika ada masyarakat yang menyampaikan laporan pengaduan itu agar dapat segera menindaklanjuti. Namun, dengan tidak ditindaklanjutinya laporan tersebut dan tidak adanya pemberitahuan kepada pemohon, pihak penegak hukum itu sudah memberikan kerugian sehingga pemohon bolak balik meminta informasi kepada kantor Kejaksaan Tinggi.
“Sehingga hak pemohon sebagai Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan kepastian hukum dari lembaga penegak hukum itu tidak dijamin,” terangnya.
Lebih lanjut Asep menerangkan tindak pidana korupsi menimbulkan kerugian meluas. Korban tindak pidana korupsi adalah seluruh warga negara sehingga diperlukan pintu bagi korban (warga negara) yang melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi untuk melakukan kontrol terhadap proses penegakan hukum pada Kejaksaan Republik Indonesia.
“Dengan demikian segala kerugian yang diakibatkan oleh tidak adanya kepastian hukum dari jangka waktu proses penanganan laporan pengaduan masyarakat mengenai dugaan tindak pidana korupsi, menjadi kerugian seluruh Warga Negara Indonesia, terlebih lagi dengan tidak dapatnya Pelapor mengajukan Praperadilan apabila pihak penyidik atau penuntut umum pada lembaga Kejaksaan Republik Indonesia tidak menindaklanjuti, mengakibatkan Prematurnya Pengajuan Praperadilan karena belum masuk tahapan penyidikan,” terangnya.
Menurutnya, peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat diwujudkan dalam bentuk mencari, memperoleh, memberikan data atau informasi tentang tindak pidana korupsi dan hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan tidak melakukan tindakan faktual/konkret dan tindakan hukum terhadap laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana korupsi yang berlarut-larut lebih dari satu tahun merupakan perbuatan yang tidak terpuji, hal tersebut menimbulkan pertentangan dengan asas kepastian hukum.
Dalam permohonan dijelaskan bahwa para Pemohon dan masyarakat lainnya telah menyampaikan bukti berupa laporan pengaduan kepada Kejaksaan Negeri Garut mengenai dugaan tindak pidana korupsi pada beberapa badan setempat. Di antaranya yaitu Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Trimitra Abadi, DPRD Kabupaten Garut, Desa Sukanagara Garut, Inspektorat Kabupaten Garut, dan Dinas Perumahan dan Permukiman Kabupaten Garut. Kemudian, pada bagian kedudukan hukum, disampaikan bahwa Pemohon pernah mengajukan dua permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung dan satu permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung dengan putusan menolak permohonan karena kejaksaan belum melakukan pemeriksaan dalam menanggapi laporan pengaduan masyarakat.
Melihat itu, Pemohon merasa telah dirugikan secara konstitusional karena tiadanya kepastian hukum dari kejaksaan akibat tidak menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat yang disampaikan mengenai dugaan tindak korupsi badan-badan tersebut. Dalam kaitannya terhadap pasal a quo, para Pemohon meminta MK secara khusus menyatakan frasa “penghentian penyidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai termasuk penghentian penyidikan apabila aparat penegak hukum tidak melakukan pemeriksaan sejak laporan dugaan disampaikan sampai lebih dari satu tahun.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan, semakin banyak batu uji, uraian norma yang terkait dengan batu uji harus ada. “Jadi kalau hanya Pasal 28D ayat (1) berarti cukup itu tetapi kalau ditambahkan ada pasal-pasal yang lain di dalam UUD maka itu harus diuraikan masing-masing batu uji itu, ” kata Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul meminta para Pemohon untuk melihat contoh-contoh permohonan yang ada sebelumnya. “Baca contoh-contoh permohonan yang ada sebelumnya,” kata Manahan.
Sebelum menutup persidangan, Manahan memberikan kesempatan kepada para Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Selanjutnya perbaikan permohonan para pemohon harus diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Rabu 26 April 2023 paling lambat pukul 13.00 WIB.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.