JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Rabu (29/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ini dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta tujuh hakim konstitusi lainnya.
Semula, agenda sidang kesembilan ini yakni mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Namun, menurut laporan dan catatan Kepaniteraan MK, keterangan tertulis dari Ahli Pemohon baru diajukan pada Selasa (28/3/2023) kemarin, sehingga keterangan Ahli Pemohon belum dapat didengar pada persidangan hari ini.
“Untuk itu, sidang ini ditunda hari Rabu, 5 April 2023, Pukul 10:00 WIB, dengan agenda tetap yaitu masih mendengar keterangan Ahli dari Pemohon,” kata Ketua MK Anwar Usman.
Mendengar hal tersebut, kuasa hukum para Pemohon, Sururudin dalam persidangan menyampaikan pihaknya mengikuti kebijakan dari MK. “Kami mengikuti kebijaksanaan dari Yang Mulia saja,” kata Sururudin.
Baca juga:
Menyoal Konstitusionalitas Sistem Proporsional Terbuka dalam Pemilu
Kader Parpol Pertegas Alasan Permohonan Uji UU Pemilu
Presiden Minta Penundaan Sidang Uji UU Pemilu
Penuhi Permintaan Sidang Luring, MK Tunda Sidang UU Pemilu
Sistem Proporsional Terbuka Bebaskan Pemilih Memilih Wakil Legislatif
PSI Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup
Partai Bulan Bintang Dukung Pemilu Coblos Partai Politik
Tiga Kader Partai Golkar Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Partai Garuda dan Partai Nasdem Dukung Sistem Proporsional Terbuka
PKS dan PSI Dukung Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Pro-Kontra Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Membuat Caleg Setia Kepada Parpol dan Pemilih
Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.
Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.
Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota. Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.