JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 491 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Selasa (28/3/2023). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor 24/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh Risky Kurniawan dan Michael Munte. Sidang kedua ini dilaksanakan oleh Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah.
Pada penyampaian perbaikan permohonan ini, Risky menyebutkan beberapa poin perbaikan yang telah dilakukannya, di antaranya menyempurnakan uraian tentang kewenangan MK dalam mengadili permohonan ini dengan menyertakan undang-undang terbaru, yakni Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, Pasal 7 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021. Berikutnya menyempurnakan legal standing para Pemohon dengan menambahkan hak konstitusionalnya yang diberikan UUD 1945 serta menjabarkan kerugian yang dideritanya, baik faktual atau setidaknya potensial. Selain itu para Pemohon juga menambahkan argumentasi berupa data survei terkait orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Bahwa pada kesimpulannya, pasal aquo hanya sebatas aduan masyarakat, tidak ada penyertaan bagaimana kemampuan pertanggungjawaban orang gila melakukan tindak pidana. Sehingga kerugian masyarakat terjadi karena ketidakcermatan pasal ini dengan tidak menentukan siapa yang menjaga orang gila,” sampai Risky yang mengikuti persidangan dari Universitas Internasional Batam.
Baca juga:
Dua Mahasiswa Persoalkan Kewajiban Jaga Orang Gila
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 24/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diajukan oleh dua mahasiswa, Risky Kurniawan dan Michael Munte. Risky Kurniawan adalah Mahasiswa Universitas Internasional Batam. Sedangkan Michael Munte adalah Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Risky dan Michael mengujikan Pasal 491 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah: 1. barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”
Dalam persidangan yang digelar di MK pada Selasa (14/3/2023), Risky Kurniawan menyebutkan Pasal 491 ayat (1) KUHP tersebut tidak menentukan pihak yang mempunyai kewajiban menjaga seorang gila. Sehingga untuk memenuhi unsur adanya orang “yang diwajibkan menjaga seorang gila” sebenarnya sulit dilakukan. Sebab berdasarkan Staatsblad 1897 Nomor 54 disebutkan kepada orang perseorangan tidak dibebankan kewajiban untuk menjaga dan merawat. Jika pun ada kewajiban demikian, sambung Risky, hanya berupa kewajiban moral yang tidak dapat dituntut sebagai kewajiban hukum.
Kewajiban tersebut justru ada pada pemerintah karena keluarga dekat orang gila tersebut menurut aturan yang ada memiliki kewenangan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat agar orang gila tersebut dapat ditempatkan di rumah sakit jiwa. Sehingga menurut para Pemohon UU a quo tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan mengakibatkan masalah berkelanjutan kepada suatu subjek hukum sehingga pasal a quo digunakan sebagai alat pemidanaan.
“Kerugian yang dimaksudkan di sini kerugian potensial, di mana saat kami sedang di jalan raya mungkin saja ada orang gila yang merusak sarana umum sehingga dari pasal ini bersifat multitafsir karena yang menjaga orang-orang tersebut seharusnya keluarga terdekat,” jelas Risky.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.