JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji formil Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) pada Selasa (28/3/2023). Sidang Pleno ini digelar untuk dua perkara sekaligus, yakni Nomor 14/PUU-XXI/2023 yang dimohonkan oleh 13 serikat pekerja dan Nomor 22/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sidang Pleno dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Saldi Isra serta tujuh hakim konstitusi lainnya.
Sidang ketiga ini beragendakan mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah, tetapi Kepaniteraan MK mendapatkan surat permohonan dari kuasa Presiden untuk penundaan penyampaian keterangan. “Sehingga perkara ini belum bisa dilanjutkan. Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Selasa, 11 April 2023 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah,” ucap Ketua MK Anwar Usman di hadapan para pihak peserta sidang yang hadir di Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga:
Serikat Buruh Uji Formil Perppu Cipta Kerja
Aliansi Serikat Pekerja Uji Formil Perppu Cipta Kerja
Serikat Buruh Perbaiki Legal Standing Uji Formil Perppu Cipta Kerja
Pemohon Uji Perppu Cipta Kerja Berkurang
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 14/PUU-XXI/2023 dalam dalam perkara pengujian formil Perppu Cipta kerja diajukan oleh 13 serikat pekerja. Serikat pekerja dimaksud, yakni Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (Pemohon I), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan KSPSI (Pemohon II), Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI (Pemohon III), Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik, dan Mesin SPSI (Pemohon IV), Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI (Pemohon V), Federasi Serikat Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat (Pemohon VI), Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan (Pemohon VII), Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia (Pemohon VIII), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (Pemohon IX), Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia (Pemohon X), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Pemohon XI), Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Pemohon XII), Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92 (Pemohon XIII).
Menurut para Pemohon, Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945. Dalam pokok permohonan, para Pemohon menyatakan Perppu Cipta Kerja ditetapkan dan diundangkan pada 30 Desember 2022 oleh Presiden Joko Widodo. Perppu tersebut disinyalir menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sebelumnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020. UU Cipta Kerja sebelumnya menerapkan konsep omnibus law yang terbagi atas sebelas kluster, di antaranya penyederhanaan perizinan tanah; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; pengendalian tanah; kemudahan proyek pemerintah; dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Sementara dalam Perppu Cipta Kerja terdapat sebelas kluster yang merupakan penggabungan dari 78 undang-undang, di antaranya Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1973 tentang Ketentuan Umum Perpajakan; Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air; hingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan. Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945. Kemudian, Pemohon juga meminta MK menyatakan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 22/PUU-XXI/2023, merupakan pimpinan pengurus federasi maupun serikat pekerja tingkat pusat menilai Perppu Cipta Kerja melahirkan norma baru yang dapat merugikan kepentingan para Pemohon. Kerugian yang dialami para Pemohon, di antaranya status hubungan kerja yeng cenderung melegalkan praktik perjanjian kerja tertentu berkepanjangan, kaburnya konsep upah minimum, maka hilangnya minimum upah sektoral, berkurangnya hak runding serikat buruh, berkurangnya nilai pesangon, tidak jelasnya nilai sosial hingga potensi terjadi banyaknya perselisihan karena tidak jelasnya peraturan peralihan yang mengatur norma baru dan norma-norma yang dihilangkan dalam Bab IV Ketenagakerjaan.
Lebih lanjut Pemohon juga menyebut, baik dalam konsideran menimbang maupun dalam bagian penjelasan Perppu Cipta Kerja dikatakan sebagai bentuk tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Terhadap temuan pelanggaran prosedur tersebut, Ari mengutip putusan, menyebut MK memerintahkan pembentuk UU untuk memperbaiki pelanggaran yang ada dan memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan UU dengan menggunakan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Dengan merujuk pada amar putusan angka 4 dan dikaitkan dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 91/PUU-XVIII/2020 yang pada pokoknya menyatakan memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan proses pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam hal memperbaiki penggunaan metode yang pasti, baku, dan standar, memenuhi partisipasi masyarakat yang lebih bermakna dan perbaikan perubahan naskah yang substansial. Namun justru melalui Perppu Cipta Kerja membuktikan Presiden telah tidak memenuhi dan bahkan jauh dari perintah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Berdasarkan hal-hal dan alasan mengenai tidak cukupnya alasan kegentingan memaksa dalam penetapan Perppu Cipta Kerja, Pemohon meminta MK menyatakan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M.Halim