AMBON, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan kuliah umum kepada civitas akademika Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Ambon, Provinsi Maluku, Sabtu, (18/03/2023) pagi. Daniel yang pada kesempatan tersebut hadir secara langsung menyampaikan rasa bahagianya karena dapat menghadiri kuliah umum ini. Daniel juga mengatakan hukum tidak hanya untuk mahasiswa fakultas hukum saja, melainkan juga untuk seluruh masyarakat.
“Saya merasa senang karena kegiatan ini juga diikuti oleh mahasiswa dari fakultas lain, dan bahkan ada mahasiswa dari kampus lain,” kata Daniel kepada para peserta yang hadir.
Dalam Kuliah Umum yang mengangkat tema “Dinamika Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Di Mahkamah Konstitusi”, Daniel menjelaskan kedudukan dan kewenangan MK. Daniel menegaskan, dalam UUD 1945 Presiden, Majelis Perwusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berada pada posisi yang sama yakni sederajat sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Hal tersebut berbeda ketika UUD 1945 sebelum diamandemen yakni adanya lembaga negara yang tertinggi, yaitu MPR.
Selanjutnya Daniel menjelaskan empat kewenangan dan satu kewajiban MK. Selain kewenangan yang telah ditentukan dalam konstitusi, terdapat perkembangan kewenangan MK yaitu menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
“MK juga (berwenang) mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Sebelumnya, sengketa pilkada merupakan domain peradilan di bawah MA, namun dalam perkembangannya, kewenangan itu diserahkan kepada MK,” jelas Daniel.
Berdasarkan catatan, MK sudah memeriksa dan memutus 29 Perppu. Menurut Daniel, MK dapat menguji Perppu karena kedudukannya yang setara dengan undang-undang (UU) dan keberlakuannya kepada umum.
Selama ini di Indonesia, sambungnya, putusan MK hanya berlaku terhadap UU yang dimohonkan untuk diuji. Berbeda dengan negara lain, ada pula putusan MK yang berlaku terhadap UU lain yang memiliki ketentuan serupa dengan norma yang diuji. Memang banyak wacana yang berkembang di masyarakat putusan MK terhadap suatu norma juga berlaku terhadap norma serupa di UU yang lain.
Pengujian Formil dan Materil
Pada kesempatan yang sama, Daniel juga menerangkan kepada para peserta mengenai pengujian UU di MK. Terdapat dua model pengujian yakni pengujian secara formil dan materil. Dikatakan Daniel, pengujian secara formil adalah pengujian yang berkaitan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil.
“Tata cara pembentukan undang-undangnya. Jadi, yang dipersoalkan oleh pemohon adalah prosedur pembentukan UU yang menurut pemohon tidak sesuai dengan tata caranya, tidak sesuai dengan proses pembentukannya, tidak sesuai dengan prosedur pembentukannya, ” terang Daniel.
Sedangkan pengujian materil yaitu pengujian UU yang berkenaan dengan substansi UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengujian ini berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pengajuan pengujian formil ke MK, dibatasi selama 45 hari sejak UU itu diundangkan dalam Lembaran Negara. Daniel mengilustrasikan, apabila sebuah UU diundangkan hari ini, maka tenggang waktu untuk dapat diajukan ke MK yaitu sejak hari ini sampai 45 hari ke depan.
“Kalau pengujian materil tidak dibatasi tenggang waktu. Jadi, UU yang sudah berpuluh-puluh tahun berlaku pun sampai sekarang ada saja yang mengajukan pengujian berkaitan dengan substansinya,” urai Daniel.
Dalam pengujian formil, apabila dikabulkan MK, maka seluruh UU akan dinyatakan MK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Sementara pada pengujian materil, hanya pada bagian yang diuji saja yang dinyatakan inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, Daniel juga menjelaskan yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. “Mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum. Sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa. Siapa pun bisa menjadi para pihak. Setiap kali pengujian UU di MK, DPR dan Presiden selalu aktif memberi keterangan karena kedudukannya sebagai pembentuk UU,” terangnya.
Daniel menambahkan, dalam perkara pengujian UU, Presiden dan DPR bukan lawan, melainkan pemberi keterangan selaku pembentuk UU. Ini yang membedakan dengan kasus-kasus perdata.
Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya adalah memberi kemudahan pada access to justice kepada masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat, sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Kemudian, Daniel juga menerangkan, beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK. Berbeda dengan perkara perdata, di MK suatu perkara bukan disebut gugatan, melainkan permohonan, karena perkara tersebut untuk kepentingan umum, dan bukan perkara contentiosa,” kata Daniel lagi kepada para peserta.
Daniel menegaskan, seorang advokat harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Kemudian, untuk dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. Kerugian konstitusional merupakan hak yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU.
Sistematika Permohonan
Mengenai sistematika permohonan, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara offline maupun secara online.
Berikutnya, Daniel menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Kemudian sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi.
Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan. Putusan MK, kata Daniel, bersifat erga omnes. Meskipun permohonan dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan bersifat umum dan memengaruhi hukum di Indonesia. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lagi setelah adanya Putusan MK.
Selain itu, Putusan MK dapat bersifat pemberlakuan secara konstitusional bersyarat. Artinya, norma yang diuji menjadi tidak bertentangan dengan konstitusi apabila dimaknai sebagaimana dirumuskan MK. Sebaliknya, ketika norma pasal, ayat dalam UU yang diputus inkonstitusional bersyarat yakni norma yang diuji menjadi bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai sebagaimana dirumuskan MK.
Perkembangan Teknologi
Daniel lebih lanjut memaparkan tentang perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan kepada para pihak untuk berperkara di MK. Persidangan MK terbuka untuk umum sehingga masyarakat dapat melihat melalui channel youtube MK. Dengan adanya kemudahan akses tersebut, MK ingin menjadikan peradilan yang cepat, sederhana, dan tanpa biaya.
Menjawab pertanyaan dari peserta mengenai putusan UU Cipta Kerja, Daniel meminta para peserta untuk melihat putusan MK yang terdapat dalam website MK. Selain itu, Daniel mengatakan saat ini MK juga tengah menguji Perppu Cipta Kerja.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.